Hujan masih mengguyur sore itu, rintikkannya semarin menderas. Tetesan airnya jelas terdengar saat jatuh ke bumi, membuat irama hujan yang mendominasi.
"Gue 2.5 juta, deh," kata Nesia dengan nada terpaksa sambil sesekali melirik Aurum yang masih terlihat tak bersemangat. "Masing-masing dari lo berdua juga 2.5 juta," pinta Nesia menunjuk dua laki-laki di depannya.
"Nggak ada orang asing yang mau ngasih uang segitu cuma-cuma. Jangankan orang asing, orang yang kita kenal juga bisa aja keberatan. Contohnya dia," ketus laki-laki berkemeja biru. Matanya mengerling ke arah Nesia. Sementara, Nesia sudah siap mengomel lagi dengan membuka mulutnya lebar. Namun, ditahan oleh Aurum yang memberinya isyarat gelengan kepala. "Dan lo berhenti nangis, cengeng," lanjutnya tanpa perasaan.
Aurum yang mendengarnya seolah tidak percaya. Apa salahnya mengeluarkan air mata karena merasa sedih?
"Aku nggak cengeng!" bantah Aurum.
"Kalau gitu berhenti nangis. Gue nggak suka lihat air mata," balasnya.
"Gue punya solusi," potong seorang berkacamata. Ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Semua memandangnya sampai ia kembali bersin. Ia kembali pindah posisi, kali ini bersandar pada dinding dan sempat menatap meja bar dengan horor, mungkin terdapat debu lagi. "Tapi, sebelumnya, gue mau Latte."
"Gue mau chamomile," sahut seorang berkemeja biru yang sudah kembali duduk.
Salah satu alis Nesia terangkat. Begitu pun dengan Aurum.
Nesia mendengkus keras. "Apa-apaan ini? Kalian pesen minuman?Lagian kan, udah dibilang kalau Latte nggak a-"
"Aku buatin yang lebih enak. Kalian tunggu di sini. Kak Nes juga," ujar Aurum sambil melenggang ke arah dapur.
*
Ketiganya menatap heran empat cangkir di atas meja. Aurum yang katanya akan membuat minuman yang lebih enak, sekaranh tersenyum manis meski matanya sembab. Ia dengan santai meminum minumannya.
"Kenapa diam? Ayo di minum. Ini enak kok, sehat lagi," ucap Aurum.
Nesia memaksakan senyum, lalu meminum minumannya yang tak lain hanya air putih dalam cangkir.
"Ini bukan Latte. Gue mau Latte," sahut seorang berkacamata.
Setelah dibalas pelototan Nesia, ia terdiam.
Seorang berkemeja biru tidak protes. Ia meminum air putihnya, lalu meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. Baru beberapa detik saja sebelum sikunya menyenggol cangkir itu, membuatnya jatuh dan berserak.
"Maaf, itu nggak sengaja," ucapnya yang kali ini tidak segera membereskan pecahannya.