Gaharu menyukai hujan. Sungguh. Telapak tangannya menengadah, menikmati setiap rintikan jatuh di atasnya. Sesekali, ia memejamkan mata, menghirup aroma khas saat air hujan jatuh membasahi tanah. Kalau saja ia tidak membawa komputer jinjingnya yang tidak tahan air itu, sudah pasti ia akan berjalan pelan di bawah guyuran hujan, menikmati setiap tetesan air jatuh di atas kepalanya. Juga, mendengarkan irama rintikan hujan setiap kali jatuh di atas benda yang berdentang. Jangan salah, seberapa besar rasa sukanya pada hujan, Gaharu tidak akan menari di bawah hujan. Tidak akan pernah. Ia hanya ingin menikmatinya dalam ketenangan.
Halte bus yang cukup sempit membuat Gaharu kebingungan. Ia memeluk ranselnya agar tidak basah. Bagaimana pun dirinya menyukai hujan, tugas ekonometrika dalam komputer jinjingnya tidak akan ia korbankan. Sebelum hujan kembali deras, ia berlari mencari tempat yang lebih luas. Tibalah ia di sebuah kafe tutup dengan dua orang terlihat berdebat. Meski, kafe itu tutup, namun lahan parkir yang teduh membuatnya mendekat.
Awalnya, Gaharu hanya ikut berteduh, namun pembicaraan keduanya membuat Gaharu tertarik.
"Nggak bisa, meski lo tahu kuncinya, gue nggak mungkin buka kafe ini tanpa seizin Tante Oza. Lagian, sepupu gue bentar lagi pulang."
"Bayangin, akan banyak pengunjung nantinya. Mungkin, kaya dia," tunjuknya pada Gaharu. "Pikirkan dulu, yang tadinya cuma numpang neduh, bisa jadi pesen kopi atau teh gitu."
Karena melibatkan dirinya yang sempat ditunjuk, Gaharu angkat bicara.
"Kalau kafe ini buka, gue pesen tiga cangkir kopi, gimana?" tawar Gaharu sambil tersenyum manis, senyuman yang dipaksakan.
"Tiga cangkir terlalu berlebihan! Itu kafein, lo harus tahu batasannya," potong seorang laki-laki berkacamata.
Gaharu tidak tahu akan ia apakan tiga cangkir kopi yang akan dipesannya. Ia tidak menyukai kopi, tetapi ini demi tigas ekonometrikanya yang belum selesai. Tenggat waktunya hari ini, Gaharu tidak punya pilihan lain dalam pikirannya.
"Tapi, coba lo pikir, kalau ada lima orang yang kaya gue, gimana untungnya kafe ini?" tawarnya.
*
Gaharu mendengkus keras, ia akui ia juga menyesal atas bujukannya pada Nesia. Namun, sekarang yang ia lakukan malah ingin melarikan diri. Silakan cap dirinya sebagai pecundang. Ia hanya memikirkan tugas ekonometrika yang sudah hampir tenggat waktu. Egois? Mungkin saja. Lagi pula, untuk apa membantu kafe yang dibangun setengah-setengah ini? Ditambah dikelola oleh seseorang yang mudah kena tipu dan seorang bocah SMA yang tidak tahu apa-apa.
Gaharu menunduk, tangannya memainkan diska lepas yang masih berada di atas meja.