Empat Cangkir

Ati Raah
Chapter #5

Adinandra di Tengah Hutan

Adinandra di tengah hutan. Berdiri kokoh, menjulang tinggi. Daunnya gemerisik ketika angin dengan jailnya memberi tiupan sekali. Ia memang tidak segagah jati, tidak pula seindah meranti. Namun, ia tumbuh bersama pohon-pohon lain meneduhkan bumi.

Naren sangat menyukai namanya itu, kedua orangtuanya berharap ia seperti pohon adinandra yang teguh pendirian dan pemberani dalam gelapnya hutan. Mengingat perkenalannya di kafe 36 derajat membuatnya tersenyum tipis. Ia dengan bangga mengatakan namanya, Naren Adinandra. Bukankah cukup indah?

Naren menghentikan ayunan bolpoinnya, menatap buku yang terbuka lebar di hadapannya. Kertas putih bergaris yang masih kosong di halaman 94. Halaman sebelumnya sudah penuh, ia harus berganti ke halaman berikutnya. Naren mengetukkan bolpoinnya di atas meja, mengetuk dengan irama yang sama. Berulang-ulanh. Sampai sesuatu yang terasa panas membuatnya mengernyit dan berhenti mengetuk meja.

Tangan kanannya mengambil sesuatu di lehernya. Naren mendengkus pelan, seekor semut terlihat ketakutan. Naren tahu ia semanis gula. Karena itu, ia memaafkan semut itu. Lagi pula, semut itu juga ingin hidup, mana tega Naren menewaskannya dengan sengaja. Dilihatnya cookies di atas meja sudah diambil alih kawanan semut, isinya memang tinggal satu. Kemungkinan juga sudah tidak renyah karena berbaur dengan udara.

Dengan segera, Naren membuka jendela dan membiarkan semut itu keluar, meninggalkan kawanannya yang masih berkerumun di dalam bungkusan cookies yang terbuka lebar.

Hachu!

Naren menggosokkan hidungnya yang terasa gatal. Matanya menangkap bunga matahari yang mulai bermekaran. Bagi pecinta tanaman, mungkin akan tersenyum hangat ketika melihat bunga bermekaran, kupu-kupu berterbangan dan embun pagi selepas hujan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Naren. Naren mendengkus pelan. Ini pasti ulah Ayahnya, padahal Naren juga alergi dengan serbuk bunga.

Naren mengambil bungkusan cookies dengan kawanan semut yang tertinggal. Ia membuka kembali jendela dan meletakkan bungkusan cookies itu diluar. Biarlah semut-semut itu memakannya, bungkusannya akan ia buang nanti.

Suara kenop pintu diputar membuat Naren kembali duduk di meja belajarnya, diikuti dengan suara langkah pelan. Tangannya dengan cekatan menutup buku yang sempat ia buka dan memasukkannya ke dalam rak buku kecil di atas meja belajar.

"Sedang belajar?" tanya seorang pria paruh baya yang kini berdiri di samping Naren, tepat setelah ia berhasil menekan tombol play di gawainya.

"Ya, sedang belajar melawan musuh," jawab Naren sambil terlihat serius memainkan video games.

"Hidungmu merah," ujarnya yang membuat Naren meletakkan gawainya. Ia tidak sampai hati mengabaikan ayahnya. Mengabaikan orangtua tidak ada dalam prinsip hidup Naren.

"Itu karena bunga matahari. Ayah yang nanem di depan jendela kamarku. Ayah kan tahu aku alergi," keluhnya. Sementara, ayahnya terkekeh melihat putera satu-satunya itu.

Sang Ayah duduk di tepi ranjang, menatap puteranya yang dilihatnya tidak berubah seperti saat usianya sepuluh tahun. Ia masih ingat ketika Naren yang merengek tidak mau pulang bersamanya.

"Nanti, Ayah pindahkan. Ayah nggak tahu kalau bunganya akan mekar secepat itu," ucapnya mengalah.

Lihat selengkapnya