Empat Cangkir

Ati Raah
Chapter #6

Coretan Hitam dan Putih

Ruangan itu masih segelap malam, sebelum secerca sinar memaksanya membuka mata dari petualangan mimpi menuju terangnya pagi. Bukan, bukan pagi. Fajar yang menyambutnya lebih dulu mendahului. Gaharu membuka mata. Ia menetralisir cahaya. Beberapa kali matanya berkedip. Fajar dan pagi hanya mimpi, sinarnya berasal dari lampu kecil yang belum sempat ia matikan di atas meja belajar. Ditambah, ia terbangun di atas lantai beralaskan tumpukan kertas coretan hitam dan putih.

Gaharu menatap kosong langit-langit kamar dan melirik jam mungil di atas nakas. Ia mengusap wajahnya frustasi setelah kesadarannya terkumpul. Pukul satu malam, ia terbangun.

Pandangan Gaharu menyapu setiap sudut kamarnya. Cukup satu kata untuk mendeskripsikan kamarnya. Berantakan. Barang-barang berceceran, tidak diletakkan dengan rapih dan sejujurnya, Gaharu tidak mempermasalahkan itu. Mungkin, bagi sebagian orang akan merasa risih dan menganggapnya aneh. Tumpukan snack yang isinya masih setengah dibiarkan di atas meja, tas di atas kasur, kaus kaki hilang sebelah, buku-buku yang di susun secara acak, dan masih banyak lagi.

Gaharu tersenyum, menampilkan deretan giginya. Bukan karena ia bangga dengan kamarnya yang sangat berantakan itu, namun karena suatu benda mungil yang sekarang berada di tangan Aurum. Senyumannya sirna kala ia teringat ucapannya yang dengan tegas mengatakan bahwa ia memiliki salinannya di laptop. Ia merutukki dirinya sendiri. Dengan rambutnya yang acak-acakan, ia berteriak.

"Tugas gue!" teriaknya sambil mengacak rambutnya lagi.

Gaharu mengambil salah satu kertas yang didudukinya, memandangnya sebentar. Sketsa bunga teratai. Ia mengambil lagi kertas lain. Sketsa pecahan kaca. Kamarnya memang berantakan, sebagian besar terisi sketsa gambarnya yang lepas dari dinding. Bukan lepas, tapi sengaja dilepas. Ia mengamuk karena tugasnya belum diserahkan. Bagaimana pun, Gaharu adalah mahasiswa yang anti dalam mengumpulkan tugas di hari batas waktu pengumpulan.

Dengan gerakan pelan, Gaharu memunguti sketsa-sketsa itu dan menaruhnya di dalam laci. Hanya sketsanya saja, tidak dengan barang-barang lain yang ia biarkan.

Gaharu duduk di atas meja belajar. Ia mengambil sebuah pensil. Lalu, mengambil buku bersampul hitam. Ia mencoret asal dalam kertas putih itu, tidak berbentuk, hanya coretan asal seperti segulung benang yang tidak tertata rapih.

Puas mencorat-coret, pikirannya melayang padakafe 36 Derajat yang pernah disinggahinya. Gaharu membuka lembaran baru. Kali ini coretannya seringan kapas, mengarsir bagian yang perlu, menyimetriskan garis-garis lurus. Lalu, menebalinya dengan sedikit ditekan. Jadilah sketsa sebuah bangunan yang dihias sedemikian rupa, menambah tanaman berbunga di sisi kiri, bingkai bertulis kata-kata motivasi yang menghiasi dinding, lampu-lampu kecil yang menggantung, tidak lupa, kursi dan meja yang tertata.

Mengingat bagaimana Aurum panik karena uang ibunya dicuri, haruskah Gaharu merasa empati dan peduli? Atau, apakah ia lebih memilih emosi dengan keegoisan diri?

*

Gaharu seperti pecahan kaca, tidak bisa kembali utuh dan bisa membuat orang lain terluka. Namun, apakah bisa pecahan kaca itu kembali menjadi sesuatu yang dicintai?

Berbeda dari kamarnya yang berantakan, Gaharu merapikan diri. Ia memakai kemeja rapih, lengkap dengan jas dan dasi. Dilihatnya dari atas sampai bawah melalui pantulan cermin. Gaharu menggeleng pelan, ia melepaskan jas dan dasinya dan meletakkannya dengan asal. Lalu, menggulung lengan kemejanya seperti biasa.

Gaharu berderap keluar, lalu mengendarai sepeda motornya. Meski rambutnya sudah ditata rapih, ia tetap memakai helm. Keselamatan nomor satu baginya. Deru motornya membelah jalanan yang penuh dengan kendaraan lain.

Lihat selengkapnya