Naren hanya bisa menatap malas Nesia yang berdiri di samping kasir. Napasnya masih terengah karena berlari setelah turun dari bus. Sementara, Nesia berlagak acuh dan merasa tidak bersalah sudah meneleponnya pagi-pagi.
Karena merasa tidak nyaman dengan kehadiran Naren, Nesia pun akhirnya bersuara. "Tck, Aurum beneran berdarah, Ren," keluhnya yang mulai terintimidasi. "Berhenti lihatin gue kaya gitu!" kesalnya.
Mendengar pembicaraan mereka, Aurum pun mendekat. Ia menunjukkan plester di siku lengannya. "Aku nggak papa, kok, Kak. Cuma lecet," ucap Aurum sambil berlalu ke arah dapur.
Mendengar itu, Naren semakin melihat Nesia dengan tatapan malasnya. Pagi tadi, ia terburu-buru ke sini. Visualisasi dari kata berdarah yang dipikirkannya dengan yang dikatakan Nesia sangat jauh berbeda. Bagi Naren, siapa pun itu ketika terluka tidak bisa Naren biarkan. Namun, karena ucapan Nesia juga sekarang hanya memakai kaus oblong lusuh yang dilapisi jaket yang kusutnya. Bukan main, celana longgar selutut motif kotak-kotak, juga sandal jepit warna putih dengan tepian kuning. Ditambah, rambut berantakan dan wajah kucelnya karena belum mandi. Naren mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja. Lantas, ia bertanya pada Nesia yang sedari tadi seperti menyuruhnya pergi. Padahal, Nesia sendiri yang memanggilnya ke kafe.
"Dapet nomor gue dari mana?" tanya Naren.
Nesia memberikan cengiran lebar. Ia mengangkat sebuah buku yang berisi nomor pelanggan.
"Gue nggak nyangka lo termasuk pelanggan angkatan pertama haha," ucap Nesia diselingi tawa yang terdengar kaku. "Gue dapet buku ini di laci paling bawah," jelas Nesia merasa bersalah.
"Terus?"
"Terus?" ulang Nesia. "Ya udah gitu.. Ehm, gue pengen lo ke sini buat bantu. Lo lihat sendiri, 'kan? Cuma ada gue sama Aurum dan belum ada satu pun pelanggan," jelas Nesia berharap Naren mengubah keputusannya.
"Masker," pintanya.
Dengan cekatan, Nesia membuka laci dan memberikan Naren selembar.
Naren memakainya, lalu berbalik pergi.
"Gue kira lo berubah pikiran!" seru Nesia. "Gue kira lo bakal bantu," lanjutnya mendadak lesu.
Naren memijat dahinya pelan. Ia menunjukkan lima jarinya yang membuat dahi Nesia berkerut.
"Lima menit," ucap Naren yang sudah kembali menurunkan tangannya. "Ah, nggak. Lima belas menit. Gue balik lagi ke sini."
"Jadi, lo mau bantu?" tanya Nesia dengan mata berbinar. Naren mengangguk seraya berlalu pergi.
*
Gaharu memandangi uap teh dalam cangkirnya yang semakin menghilang. Ia menolah ke arah jendela yang dihiasi beberapa tanaman dalam pot kecil seperti lavender dan spider plant. Ia lega karena sudah submit tugasnya setelah meminjam komputer jinjing milik Aurum. Sesekali, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Detik berdetak, Gaharu menghitung sudah lima belas menit ia menunggu, namun ayahnya tak kunjung datang. Tidak banyak yang Gaharu lakukan. Hanya memandangi lalu lintas yang tidak terlalu padat dari lantai dua.
Seorang wanita dengan dandanan yang cukup nyentrik duduk di hadapannya tanpa permisi. Tante Dia, saudara jauh ayahnya. Ia membawa kipas dan mengipasi rambutnya dengan pelan. Padahal, ruangan ini sudah dilengkapi AC. Gaharu tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Inilah alasannya tidak ingin berlama-lama di perkumpulan keluarga yang diadakan setiap tahunnya. Gaharu dapat menghitung hanya sekitar dua sampai tiga kali ia datang dihitung setelah kelulusannya dari sekolah dasar. Kalau bukan karena ayahnya yang memaksa, Gaharu mungkin tidak akan datang.
Gaharu menggaruk lehernya karena tidak nyaman. Ia mulai menghitung, 1, 2, 3...
"Mas Hendri nggak datang, Ru?" tanyanya yang membuat Gaharu menoleh dengan terpaksa.
"Papa datang," jawab Gaharu singkat. Ia kembali menoleh pada jendela, menatap bagaimana kendaraan mulai memadat ketika matahari mulai meninggi.