Ombak sore itu terdengar lebih berat dari biasanya, seolah membawa kabar yang tak bisa dipahami manusia.
Ryo berdiri di tepi pantai, kedua kakinya menancap di pasir yang basah. Angin laut menerpa wajahnya, dingin tapi menenangkan. Di kejauhan, langit terbakar oleh cahaya jingga senja, meninggalkan garis-garis merah muda yang mengalir bagai lukisan.
Sejak kelulusan, hari-harinya kosong. Teman-temannya sibuk dengan rencana masa depan: ada yang bekerja, ada yang melanjutkan kuliah, ada yang bahkan pergi ke luar negeri. Ryo? Ia hanya berdiri di sini, menatap laut, seolah mencari jawaban yang tak pernah muncul.
"Apa aku benar-benar tidak punya arah?" pikirnya.
Ia menunduk, mengambil sebuah kerikil, lalu melemparkannya ke laut. Bunyi plup yang ditimbulkan terasa kecil dibandingkan suara deburan ombak.
Hampa. Sama seperti hatinya.
Tiba-tiba, ada kilatan cahaya di laut. Ryo menyipitkan mata. Ombak yang tadi bergulung normal, kini berputar membentuk pusaran kecil, semakin lama semakin besar. Air laut terangkat, berputar, dan dari dalamnya muncul cahaya keperakan yang menusuk pandangan.