Seperti kebanyakan situasi, ketika beberapa orang asing bertemu dan mulai bicara satu sama lain, obrolan baru akan dibuka. Dimulai dari pengenalan diri hingga menceritakan banyak hal. Karena Nico bersama dengan tiga teman bicaranya ini punya satu kesamaan: sama-sama mengenal Varsha, jadi jelas yang dibicarakan adalah semua yang berkaitan dengan Varsha.
“Buatku, Varsha sudah seperti keluarga. Dia teman dan tetangga yang baik. Setiap pagi, dia akan berteriak memanggil namaku di depan rumahku dan berangkat bersama menuju ke sekolah. Senyum Varsha itu terasa hangat. Aku ibaratkan senyumannya seperti musim semi yang hangat. Bahkan ketika mengingatnya lagi, nama Varsha rasanya enggak cocok dengannya karena Varsha berarti hujan sementara Varsha yang aku ingat adalah anak yang selalu tersenyum hangat.”
Ryo berbicara lebih dulu.
Benar, nama Varsha dalam bahasa sanskerta berarti hujan. Nico membatin.
Karena yang lebih dulu mengenal Varsha dan bertemu dengannya adalah Ryo, jadi dia memulai percakapan tentang Varsha yang diingatnya.
Keluarga Ryo dan keluarga Varsha adalah tetangga. Rumah mereka bersebelahan. Umur Varsha dan Ryo pun juga sama, keduanya pun lahir di tahun yang sama: 1993. Varsha lahir di bulan Februari, sementara Ryo lahir di bulan Maret. Karena berbeda sekitar satu bulan lamanya, Varsha dan Ryo sudah seperti saudara. Ditambah lagi kedua orang tua Varsha dan Ryo, juga berhubungan baik.
“Anakmu cantik sekali, Lira. Varsha kan namanya?” tanya Ibu Ryo-Mika.
“Ya, Varsha namanya. Terima kasih. Anakmu juga tampan sekali, Mika. Ryo kan namanya?”
“Ya, Ryo namanya.” Mika-Ibu Ryo menganggukkan kepalanya. “Nanti kita masukkan Varsha dan Ryo ke sekolah yang sama, gimana? Mereka berdua lahir hanya beda bulan saja. Gimana?”
Rencana itu berhasil terwujud. Semenjak TK hingga SD, Ryo dan Varsha selalu satu sekolah. Ketika Mika-Ibu Ryo tidak bisa menjemput, maka Ryo akan pulang bersama dengan Varsha dan Lira-Ibu Varsha, begitu juga sebaliknya.
“Kamu mau ini, Varsha?” Lira-ibunya menawari es krim pada Varsha sepulang sekolah.
“Mau, Bu. Tapi beli dua yah, Bu?”
“Dua? Satu saja enggak cukup. Makan es krim, enggak boleh banyak-banyak, Varsha. Gigi kamu nanti bisa sakit.” Lira berusaha menasehati Varsha.
“Bukan, Bu.” Varsha menggelengkan kepalanya. “Bukan buat Varsha satunya, tapi buat Ryo.”
Mendengar jawaban Varsha, Lira langsung tersenyum kecil. Sebagai Ibu, Lira merasa bangga dengan perhatian di antara Varsha dan Ryo. Meski keduanya bukan saudara kandung, hanya sebatas tetangga, keduanya punya hubungan baik layaknya saudara kandung. Berkat hubungan itu, baik Varsha dan Ryo belajar lebih awal bagaimana rasanya memiliki saudara.
“Varsha.” Ibu Ryo datang menyapa bersama dengan Ryo.”
“Halo, Ryo.” Lira-Ibu Varsha membalas sapaan Mika dengan menyapa Ryo. “Ada apa ke sini sore gini, Ryo, Mika?”