Waktu membuka matanya kembali.
Aku terbangun di tempat yang dulu pernah kutinggalkan,
dengan dada yang penuh ingatan dan tangan yang belum sempat menggenggam.
Bunga-bunga tumbuh di tanah yang sama,
tapi ada ketakutan dalam kelopak yang mulai mekar—
apakah semua ini nyata, atau hanya mimpi yang terlalu ingin kupercayai?
Musim semi kali ini adalah harapan yang dibungkus ragu,
dan aku berdiri di ambangnya,
berusaha percaya bahwa kali ini mungkin berbeda.
Hari berikutnya.
“Di sini.” Setelah membuat janji dengan Ryo, Nico kini benar-benar bertemu dengan Ryo di kafe di mana mereka berjanji. Nico yang membuat janji, datang lebih awal sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya untuk mempersiapkan apa yang hendak dikatakannya ketika bertemu dengan Ryo.
“Ah … selamat siang.” Ryo menyapa Nico.
“Siang.” Nico membalas. “Silakan pesan minum dulu, baru kita bicara.”
“Oke.”
Slurpp!
Setelah Ryo meminum minuman yang dipesannya dan sudah dalam posisi siap untuk mendengar alasan Nico menghubunginya, Nico baru mulai bicara.
“Seperti yang tertulis dalam pesanku, aku dapat nomormu dari Rury.” Nico memulai percakapannya.
“Ya, Rury-sepupu Varsha sudah mengirim pesan ke aku.” Ryo menganggukkan kepalanya paham. “Rury bilang ini ada hubungannya dengan karya terakhir yang Varsha tinggalkan sebelum dia pergi kepadamu.”
“Ya, itu benar.” Nico membenarkan.
“Kenapa ingin menemuiku? Apa karya Varsha ada hubungannya denganku?” Tanpa basa basi Ryo langsung bertanya pada Nico.