Awan berlari sekuat tenaganya dan tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di atap. Dan begitu tiba di sana, ia melihat pemandangan yang sama sekali diduganya. Ia tak pernah menyangka dua orang yang sedang membuat keributan di atap itu adalah dua orang yang dikenalnya: Nico dan Yoga.
“Apa yang kalian-” Awan buru-buru berlari menghampiri Nico dan segera membantunya untuk menyelamatkan Yoga yang bergelantungan dalam bahaya.
“Anak ini sudah gila, Awan!” teriak Nico. “Dia ingin memutar jam itu dengan nyawanya agar waktu Varsha diulang lagi!”
“Apa yang mau kamu lakukan, Yog?” Awan buru-buru berusaha membantu Nico dengan membungkukkan tubuhnya sedikit untuk menarik tubuh Yoga. Tapi bukannya meraih tangannya, anak itu justru menolak bantuan itu. “Kamu sudah gila, Yog!”
“Maaf, Mas. Tapi kali ini, aku harus lakuin ini!” Yoga menatap Awan dengan tatapan memohon. “Hidup Kakakku terlalu menyedihkan! Akhir seperti ini, aku enggak bisa terima!”
“Tapi ini langkah yang gila, Yog! Enggak ada jaminan kalo-”
“Aku tahu! Tapi kalo kalian terus menahanku seperti ini, kematianku juga akan sia-sia! Untuk mengulang waktu, aku harus berusaha mati bersama dengan kalung ini seperti yang Kakak lakukan! Kalo aku jatuh tanpa benda ini, maka-”
Tanpa harus mendengar ucapan Yoga lebih panjang lagi, Awan tahu apa maksudnya. Cerita yang didengarnya dari Nico dan buku peninggalan dari Varsha, sudah cukup membuatnya tahu apa yang terjadi pada wanita itu di dua putaran hidupnya.
Bayangan Varsha dan semua hal tentang wanita itu, mendadak muncul dalam benaknya. Berputar cepat seperti film yang diputar dengan cepat. Dan dari semua ingatan miliknya tentang wanita itu, ingatan itu berhenti pada satu waktu di mana ia mulai mengagumi wanita itu. Senyumnya hari itu membekas di ingatannya bahkan sampai hari ini.
“Kamu yakin ingin mengambil jalan ini, Yog?” Setelah berpikir sejenak, Awan bertanya dengan nada lemah. Air matanya jatuh karena memikirkan hidup Varsha dan laki-laki di depannya saat ini. Mereka berdua adalah saudara tapi hubungan mereka terputus dan ketika akhirnya mereka bisa saling bertemu satu sama lain, keduanya tak punya banyak waktu bersama.
“Ya, Mas.”
“Bahkan kalo aku memohon, apakah kamu akan mengubah pikiranmu?” tanyanya lagi, kali ini dengan air mata yang jatuh lebih deras dari sebelumnya.
“Maaf, Mas.”
“Kalo gitu … “ Awan mendadak mengangkat satu tangannya, mengusap air mata yang membasahi wajahnya dan mengambil tindakan yang tak terduga. Masih dengan satu tangannya yang menggenggam kalung itu, ia mendorong Nico untuk menjauh. Buk!
“Apa yang kamu-” Nico yang terhempas karena dorongan kuat yang tak terduga itu, tak sempat menyelesaikan ucapannya karena terlalu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
“Maaf, Nico! Tapi aku sependapat dengannya! Akhir yang dibuat oleh Varsha, bukan akhir yang aku inginkan!” Setelah mengatakan hal itu, Awan bukannya menyelamatkan Yoga. Ia justru ikut melompat dari tempatnya berpijak bersama dengan anak itu.
“Awan!!!!” Ia buru-buru bangkit, berteriak kencang. Tangannya terulur berharap ia masih sempat menyelamatkan dua pria itu. Tapi uluran tangannya itu tidak sempat menangkap tangan pria yang dicintai oleh Varsha itu. Dari tempatnya berdiri di belakang pagar pembatas, ia melihat dua pria itu terjatuh dan hanya dalam hitungan detik, suara tumbukan tubuh yang menghantam tanah yang keras bersama dengan jeritan orang-orang di bawah yang melihat kejadian itu terdengar.
Enggak! Nico buru-buru berlari turun. Tubuhnya sudah sedikit lemah karena rasa lelah dan sakit yang ditahannya sejak tadi. Tapi sekarang ia tak sempat memikirkan tubuhnya karena dua orang pria itu tadi telah melakukan tindakan gila hanya demi membuat akhir kisah milik Varsha, berubah.
“Kya!!!”
“Minggir semuanya! Polisi! Jangan mendekat!”
Hosh, hosh! Dengan napas tersengal karena harus turun dari lima lantai, Nico akhirnya tiba di bawah, di depan gedung perusahaannya. Telinganya menangkap kata ‘polisi’, untuk sejenak ia berharap bahwa Awan dan Yoga akan selamat. Bahwa pria yang berprofesi sebagai polisi itu sudah lebih dulu meminta bantuan sebelum naik ke atap.
“Tolong minggir! Mereka kenalanku!” Nico meminta jalan untuk melihat bagaimana keadaan Yoga dan Awan.
Begitu melihat keadaan dua pria itu, Nico hanya bisa jatuh berlutut. Bantuan yang diharapkannya datang, ternyata terlambat. Polisi yang datang belum sempat memasang pengaman di bawah dan yang terjadi adalah kedua pria itu kehilangan nyawanya di tempat dengan banyak darah mengalir di sekitarnya.
“Kalian berdua, kenapa-” Ia belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika mendengar bunyi ‘tik’ dari bandul jam di tangan Yoga. Nico mendekat untuk memeriksa dan ternyata jam itu benar berputar. Bukan berputar maju seperti jam biasanya. Jam itu berputar mundur dan bersiap untuk mengulang waktu lagi seperti yang anak itu inginkan.
Sepertinya usaha kalian berhasil. Nico memejamkan matanya bersiap untuk menerima pengulangan waktu agar akhir hidup Varsha tak lagi berakhir menyedihkan untuknya. Ia tersenyum tipis, ia harusnya merasa bahagia. Tapi dalam hatinya ada perasaan sedikit menyesal. Mungkin karena ia tahu, putaran waktu berikutnya mungkin akan benar-benar berbeda. Ia tahu mungkin tak akan ada kesempatan baginya untuk bertemu dengan Varsha lagi. Empat musim milik wanita itu mungkin hanya akan dimiliki oleh satu orang saja.
Kuharap … aku masih bertemu kalian lagi. Itulah yang Nico katakan dalam benaknya tepat sebelum semuanya berubah dalam gelap dan hening.
Tik, tik!
*
Waktu ketiga. Musim panas.
Wush. Angin tipis berembus lewat jendela. Terasa lembut dan juga terasa nyaman. Di dekat jendela perpustakaan, Varsha tertidur dalam keadaan duduk. Hari ini entah bagaimana dirinya merasa mengantuk sekali sampai-sampai tertidur sejenak di perpustakaan.
Kali ini … hiduplah untuk dirimu sendiri, Kakak.
Suara lembut yang entah dari mana asalnya itu menggema di telinganya dan membuatnya terbangun dari tidurnya.
“Eh?? Aku ketiduran?” Varsha baru saja membuka matanya dan menemukan dirinya tidak sengaja tertidur. Ia menatap sekelilingnya dan matanya berhenti pada jam dinding perpustakaan. Ia ingat tadi sempat melihat jam itu dan baru lima belas berlalu.
Huft! Ia menopang wajahnya dengan satu tangannya, merasakan embusan angin yang lembut sembari melihat ke arah jendela di mana beberapa anak sedang bermain basket bersama. Pemandangan itu harusnya menarik perhatiannya seperti biasanya. Tapi kali ini entah kenapa perasaannya mengatakan pemandangan itu tak lagi menarik. Sebaliknya … ia justru melihat ke arah pintu perpustakaan seolah sedang menunggu seseorang di sana.
“Awan!”
Dari arah luar perpustakaan, ada seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam yang sama dengan Varsha. Anak itu berdiri di dekat pintu, berteriak memanggil nama Awan dengan sedikit kencang. Berkat suara anak itu, keheningan di perpustakaan langsung hancur.
“Ssst! Jangan teriak! Ini perpus!”
Dari balik kumpulan rak buku, muncul seorang anak yang berjalan sedikit terburu-buru. Jari telunjuknya menempel ke bibirnya, memberi isyarat pada temannya yang tadi berteriak.
“Maaf, aku lupa.”
Mata Varsha menatap ke arah anak laki-laki yang baru saja muncul dari balik rak. Matanya terus tertuju padanya seolah ada sesuatu yang tak bisa dijelaskannya ketika melihat anak itu.