EPILOG
Lahan rumah itu rimbun dengan tumbuhan liar.
Tanah gambut yang pernah menjadi pijakan dari pondasi rumah mewah ini, nampak sudah bertahun-tahun tak ditemui tuannya. Jejak bekas kebakaran besar masih tampak, meski dengan beberapa serpihan yang sudah usang. Luas tanahnya masih sama, seolah tak ada satu pun yang berani mengusik bagian darinya. Meskipun lingkungan sekitarnya telah berkembang menjadi pemukiman padat penduduk.
Sore menjelang petang, hujan rintik menghiasi langit kota Palangka Raya. Kota penuh sejarah pahit, untuk sesosok Sina yang telah memutuskan putar balik ke Kota Jakarta, melalui penerbangan tadi pagi. Kota yang telah mengukir trauma dalam ingatannya, membuatnya menghabiskan separuh hidupnya tumbuh dalam kegelapan. Mereka juga membawa serta Pamela, yang memutuskan untuk kembali masuk dalam perawatan dibawah pengawasan Satya, selaku Psikiater salah satu rumah sakit jiwa di kota Jakarta.
Tidak ada yang berbeda sepeninggalan mereka. Bahkan Risa, yang orang tuanya bermukim di kota Palangka Raya, memilih untuk ikut kembali bersama Sina.
Namun…
Langkah kaki terdengar samar. Menyusuri setiap sudut dari bangunan itu.
Bangunan yang sama, seperti yang Sina kunjungi persis dua belas jam yang lalu. Langkah itu kemudian terdengar semakin mendekat. Berhenti. Berjalan. Berhenti lagi. Suaranya benar-benar berhenti, tepat pada poros tengah dari bangunan yang nampak setengahnya masih ada, walau setengah lainnya telah runtuh tak bersisa.