Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #1

Prolog

Hujan deras mengguyur Kota Palangka Raya sore itu. Banyak orang berlarian untuk berteduh, meskipun sebagiannya memilih untuk tetap berjalan santai. Hiruk pikuk sepanjang jalan Diponegoro mendadak buyar. Tidak ada yang istimewa, selain aktifitas pulang kantor yang begitu biasa. Beberapa orang menghentikan laju kendaraannya dibawah pohon, sekadar mengambil jas hujan, memasangnya, lalu melanjutkan perjalanan. Pada pertigaan jalan terdapat lampu lalu lintas yang sedang menunjukkan warna merah. Satu per satu kendaraan berhenti dan mengisi ruas jalan. Satu dua bocah tanpa jas hujan, terlihat basah kuyup dan bercengkerama dengan temannya di atas sepeda motor. Masih dengan seragam lengkap putih biru, dan terdapat aksesoris tindik ditelinganya, mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang lumayan lantang, mencoba menandingi kerasnya suara hujan.

Pada sisi kiri jalan terdapat sebuah cafe kecil dengan nuansa rustic yang kental. Ada tiga pasang kursi dan meja yang diletakkan diluar dengan konsep outdoor, sementara tujuh pasang lainnya disuguhkan dengan nuansa indoor full AC. Beberapa pelayan masih sibuk menata panggung kecil yang diletakkan pada bagian pojok kanan cafe menghadap ke arah jalan raya. Seperti biasa, tempat ini baru menerima tamu setelah jam tiga sore berlalu, dan setiap malam, mereka selalu menyuguhkan penampilan seorang penyanyi lokal dengan pertunjukan live music accoustic.

Pukul empat sore, beberapa menit sebelum mendung berakhir dengan hujan yang begitu deras, seorang perempuan turun dari mobil kecil berwarna lemon. Ia mengenakan setelan cape jumpsuit warna dusty pink, high heels dengan jenis Stiletto ukuran 39 yang memiliki warna senada, juga sebuah tas kecil yang ia jinjing pada tangan kirinya. Rambut panjang sebahunya tergerai indah, dan ditelinganya menjuntai anting kecil yang tidak terlalu mencolok. Langkahnya mantap menuju salah satu dari tiga pasang meja dan kursi outdoor. Tidak ada siapapun disana. Ia hanya sendirian, melepas kacamata hitamnya, beberapa menit mengulik isi menu yang disuguhkan, sebelum akhirnya ia hanya memesan secangkir piccolo latte.

Kedua kakinya saling menyilang. Kedua tangannya pun saling mengisi ruas jari sembari menopang dagu. Matanya menatap jejeran kendaraan yang berhenti karena lampu merah. Suara bocah saling bercanda terdengar samar dikupingnya. Ia sedang mencoba membunuh waktu, sebab menunggu begitu membosankan. Bahkan hingga pesanannya telah tiba, seseorang yang ia tunggu tidak kunjung terlihat.

Ponselnya berdering. Suara perempuan terdengar akrab diujung sambungan panggilan. Mereka berbicara beberapa hal penting dengan singkat, sebelumnya akhirnya harus terputus karena kendala sinyal yang down selepas suara gelegar petir melintas. Ia menggumam kesal dengan pandangan terpaku pada layar ponsel. Beberapa pesan tidak terbaca ia buka. Beberapa panggilan tak terjawab pun ia lihat. Tidak ada yang terlalu penting dari itu. Wajahnya masih begitu datar dan menggambarkan kebosanan yang hampir mencapai batas akut.

Lihat selengkapnya