Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #2

Satu

Jakarta, Desember 2019.

Seperti malam-malam sebelumnya, hari ini tetap sama. Tidak ada yang berbeda. Dari segi apapun. Dari situasi apapun. Dari siapapun yang kembali datang dan bercerita, aku tetap tidak menemukan siapa yang ku cari. Lagi-lagi tidak cocok. Tidak sama seperti apa yang ku harapkan. Apakah ekspektasiku terlalu tinggi? Apakah aku hanya akan terjebak dalam situasi ini. Berulang kali. Lagi-lagi, seperti berlari ke arah yang berbeda. Berlari jauh, sejauh mungkin. Namun, ketika aku sadar, aku justru kembali lagi pada titik awal. Seperti tidak memberikan perubahan apapun pada keadaan. Rasanya, seperti bertemu lagi pada sakit yang menghujam berulang kali. Tetap pada respon yang sama. Ketakutan yang sama. Teriakan yang sama. Emosi yang sama. Ingatan yang sama. Parahnya, semakin ini berulang, semakin tidak ada yang bisa menolongku, kecuali diriku sendiri.

Hati Sina patah. Ia mengulik kembali tulisan-tulisan klien pada kotak masuk dari platform berbagi kisah miliknya. Merespon satu per satu sesuai dengan kondisi mereka. Bahkan, tidak sedikit yang hanya sekadar menyapa, memberikan doa terbaik untuknya.

Malam itu hujan mengguyur kota Jakarta. Dari ketinggian dua puluh tiga lantai, Sina duduk pada kursi yang terletak dekat jendela. Ada sebuah meja kecil, dengan seduhan segelas kopi diatasnya. Ia menatap sendu pemandangan kota yang samar. Hatinya masih merasakan nuansa yang sama. Kosong. Seperti tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun. Alunan musik dari ponsel yang ia putar hanya sekadar penghias telinga. Earphone yang terpasang hanya untuk membantunya tidak mendengar suara-suara sayup, dari angin yang dihembuskan pendingin ruangan. Sesekali ia menghela nafas. Menyeruput seduhan kopi. Lalu melanjutkan aktifitasnya merespon email yang masuk.

Dari sudut lain, terlihat sebuah lemari kecil dengan kaca transparan. Foto-foto terpajang rapi dengan bingkai yang berbeda. Begitu pun dengan beberapa piala dan piagam penghargaan, yang diperolehnya selama dua tahun terakhir. Ornamen unik menghiasi sekitar. Mulai dari action figure dari hero andalannya pada sebuah game mobile, sampai benda-benda kecil yang ia kumpulkan dari berbagai sumber, dengan bentuk yang unik. Pada bagian paling bawah, dekat nakas disamping tempat tidur, terdapat tiga kotak kecil yang tersusun saling menumpuk. Warna ketiganya senada. Warna lemon yang selalu ia sukai, ada pada setiap benda yang ia punya.

Jika dilihat satu per satu, ketiga kotak itu memiliki isi yang jauh berbeda. Pada kotak pertama, Sina meletakkan buku-buku referensi dia selama kuliah, yang menurutnya masih sangat relevan ia gunakan hingga sekarang. Buku itu juga masih tertata rapi lengkap dengan pembatas yang beragam warna pada setiap lembar yang berbeda. Ketika kotak kedua dibuka, terdapat banyak ponsel dan kartu provider yang pernah digunakan, sejak pertama kali ia memiliki ponsel dengan uangnya sendiri. Dan, pada kotak ketiga, ada hal yang mengejutkan. Kamu akan temukan banyak benda tajam terkumpul jadi satu disana. Mulai dari pisau kecil, hingga hanya sekedar benda kecil seperti paku yang berbentuk unik.

Sina meletakkan pisau kecil yang ia bawa hari ini dan menukarnya dengan bentuk pisau lainnya. Sejak kejadian lima belas tahun silam, gadis ini selalu dirundung rasa takut yang luar biasa. Ketakutan yang tidak akan pernah bisa ia ceritakan pada siapapun. Hal yang sudah berulang kali ia coba sembuhkan dengan beberapa pilihan terapi dan pengobatan, namun sekali lagi, semua hanya seperti mengulang aktifitas yang sama. Nyatanya, ia kembali pada keadaan awal. Tidak ada perubahan apapun. Untuk itulah ia memutuskan selalu ditemani oleh benda-benda tajam. Sesuatu yang menurutnya -setidaknya- bisa menolongnya pada saat terdesak dan bertemu dengan sesuatu yang akan membuat ia hilang kendali. Jangan

Hasil cetakan terakhir dari laporan yang telah ia unduh melalui email telah selesai. Seketika menghentikan aktifitas, ia lalu mengembalikan semua kotak pada posisi semula. Sina memandangi kertas itu. Mengambil gunting, dan memotongnya. Ia menyatukan hasilnya bersama potongan kertas lain, yang telah lebih dulu ditempel pada dinding dari pojok ruang kerjanya. Ruang kerja itu terletak tepat disebelah kamar tidur. Sebuah ruangan kecil yang tidak langsung disadari seseorang ketika pertama kali berkunjung ke Apartemen Sina. Ruangan itu memiliki pintu yang serupa dengan dinding. Sangat mirip seperti ruang rahasia yang memiliki jalur khusus untuk memasukinya.

Saat memasuki ruangan tersebut, kamu akan melihat betapa banyaknya potongan kertas yang menempel di dinding. Dibuat seefektif mungkin untuk bisa menggambarkan sesuatu yang ingin Sina lihat secara lebih detail. Informasi yang terbaca disana adalah tentang perkembangan kondisi kesehatan mentalnya. Juga ada sekilas gambaran masa lalunya, dan perkembangan kasus yang melibatkan kematian kedua orang tuanya. Semuanya secara rinci tertulis disana. Ia menatap kembali dinding itu. Matanya menggerayangi satu per satu alurnya. Melihat kembali sudah sejauh apa langkah yang ia buat mengubah keadaan, apalagi semenjak Forty Seconds resmi didirikan.

****

Ada yang menghebohkan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta, pada akhir bulan Desember tahun 2019. Sebuah platform berbagi kisah dengan nama “Forty Seconds”, merilis pengumuman resmi tentang sebuah event besar yang akan mempertemukan mereka dengan sosok idola dibalik kesuksesan platform tersebut. Seperti yang diketahui, Forty Seconds merupakan sebuah platform berbagi kisah yang dibangun secara resmi oleh seorang perempuan dengan latar pendidikan Psikologi, bernama Amaliya Marsina Yusuf, atau yang lebih familiar dikenal dengan sebutan Sina.

Bekerjasama dengan banyak relasi, Sina berhasil mengontrak kerja lepas teman-teman sejawatnya yang berlatar pendidikan serupa, untuk membantu dirinya melakukan pelayanan sosial gratis kepada para pengunjung platform tersebut. Alih-alih dijadikan sebagai ladang penghasilan, lamban laun platform ini benar-benar memiliki kebebasan finansial yang tak terduga, sebab banyak sekali yang memberikan dukungan dengan ikut andil dalam jajaran sponsor-sponsor besar dibalik perkembangannya.

Sejak empat jam terakhir, pasca rilis berita tersebut, email dari platform itu sudah banjir dengan pengisian formulir data peserta dari penjuru negeri. Keinginan mereka untuk bertemu langsung dengan Sina sudah tidak terbendung. Semenjak namanya mencuat ke publik, Sina memiliki banyak sekali penggemar. Pelayanan maksimal yang ia berikan melalui platform “Forty Seconds” selama dua tahun terakhir, nyatanya telah membawa perubahan positif terhadap banyak hal dalam kehidupan orang lain. Namun, dalam masa itu, baru kali ini Sina memiliki jadwal yang sesuai untuk bisa berjumpa secara langsung, setelah sebelumnya sangat terlihat mustahil.

Sebuah kantor tampak begitu sibuk pula dibuatnya. Permohonan dari berbagai sponsor, konsep acara, dan banyak persiapan lainnya menjadi pekerjaan utama yang harus diselesaikan. Terlebih lagi, jeda waktu persiapan menuju hari H hanyalah dua minggu saja. Sedangkan dari sudut kota lainnya, Sina baru saja keluar dari sebuah gedung pertemuan, setelah menerima undangan secara resmi untuk mengisi sebuah acara. Mengenakan setelan kemeja dan kulot berwarna coklat muda, juga dipercantik dengan cape blazer, Sina berjalan menuju sebuah mobil sedan berwarna putih, yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar.

Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam agenda. Namun, tidak ada yang benar-benar menyita perhatiannya selain informasi yang baru saja disampaikan asistennya via telepon. Mobil putih itu ia pacu, melaju ke arah jalan yang akan mengantarkan Sina tiba dikantor dalam waktu yang lebih cepat.

Lihat selengkapnya