Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #3

Dua

Palangka Raya, Pebruari 2004.

Sebuah rumah dua lantai dengan luas dua belas kali tujuh meter berdiri megah di atas lahan seluas tiga belas kali dua puluh meter, sekitaran jalan Adonis Samad. Bentuk bangunannya benar-benar merupakan hasil sentuhan Arsitek handal. Terdapat tiga kamar tidur, sebuah ruang keluarga, ruang tamu, dan juga ruang gaming yang minimalis. Ada kolam renang dengan desain tempat santai berbentuk melingkar ditengahnya. Cat rumahnya merupakan perpaduan mewah dari coklat muda dan tua, juga krim yang menjadi warna dasarnya. Ada taman mini yang ditata indah, dengan berbagai macam jenis bunga yang merekah di atasnya. Ada dua kolam ikan yang mengitari sisinya, yang juga menjadi hiasan dasar dari lantai transparan pada teras rumah.

Senin pagi, seperti biasa, menjadi awal rutinitas mingguan setiap orang. Begitu pun dengan aktifitas penghuni rumah tersebut. Sejak berdiri, rumah mewah itu selalu menjadi perbincangan banyak orang. Selain karena arsitekturnya yang menawan, juga karena kiprah dari personal para penghuninya yang bisa dibilang patut diperhitungkan.

“Papah hari ini anter Sina, kan?” Tanya Sina yang saat itu baru genap berusia dua belas tahun. Ia sedang melahap sepotong roti dan segelas susu diruang makan. Sedangkan sang Ayah masih sibuk membaca berita pada surat kabar pagi ini.

“Iya dong. Hari ini Papah akan antar jemput Sina ke sekolah, karena Mamah kamu mau nyalon dulu katanya, hahaha!” Celoteh sang Ayah yang kemudian disambut dengan ekspresi kesal dari sang istri, yang baru saja datang dengan dua buah piring berisikan potongan buah dan ceplokan telur.

“Papah kamu itu iri, sayang. Baru juga kali ini mamah minta jatah santai, udah ribut aja…” Sahut sang Mama sembari menyisir rambut Sina, lalu menguncirnya. Sina tertawa gelak, meskipun dengan suapan terakhir yang masih belum selesai. Sang Ayah tidak menyahut sama sekali selain hanya tertawa. Semuanya menikmati potongan buah dan telur, sebelum akhirnya bergegas berangkat.

Yusuf Zulfikar, sosok Dosen yang merupakan tokoh masyarakat pula. Diantara beberapa relasi, ia terkenal sebagai orang yang benar-benar bijak dalam mengambil keputusan. Akibat integritasnya yang tinggi, beberapa pinangan untuk masuk dalam daftar calon anggota dewan pun berdatangan silih berganti. Namun, selalu ia tolak. Baginya, untuk menjadi seseorang yang berguna di masyarakat, tidak perlu dengan menjadi anggota dewan. Ia lebih senang bekerja dengan santai dari balik layar. Itu pun hanya untuk kiprah sebagai seorang ilmuwan, bukan politikus.

Tahun 1989 ia menikahi seorang dokter yang bekerja sampingan sebagai seorang model, bernama Agnes Marsela. Dari pernikahan itu, lahir dua orang anak perempuan cantik pada tahun 1990 dan 1992. Kini, lima belas tahun pasca pernikahan mereka, keluarga Yusuf mampu menjadi salah satu icon keluarga harmonis. Kecukupan materi, kebahagiaan yang saling melengkapi, dan sisi kebaikan yang mereka punya, tidak hanya terus mendatangkan pujian, melainkan juga rasa iri dari beberapa kalangan.

Imej negatif yang pernah tercipta karena profesi sang istri yang juga bekerja sebagai model, membuat Yusuf beberapa kali dirundung cobaan untuk bisa bersikap bijak. Begitu pun ketika kedua anak mereka tumbuh remaja, yang tidak luput dari sorotan beberapa orang tua, dari siswa yang satu sekolah dengan mereka.

“Kakak!” Sina berteriak memanggil Rena yang baru saja keluar dari pagar sekolahnya. Renata Febrianti Yusuf, anak pertama yang baru saja mencecap tahun kedua masa SMAnya. Perawakannya benar-benar merupakan jiplakan dari penampilan sang mama ketika masih muda. Rambutnya baru saja dipotong sebahu, setelah satu tahun lebih ia biarkan panjang sepinggang. Hari ini Rena baru saja kembali bertemu dengan adiknya, Sina, setelah dua hari menginap dirumah temannya untuk kerja kelompok. Maklum saja, persiapan Rena untuk masuk Universitas bergengsi telah direncanakannya sedini mungkin.

Rena masuk ke sebuah mobil yang dinaiki Ayah dan Adiknya, dengan membawa serta sebuah tas berisikan baju-baju kotor. Ia kemudian memberikan kecupan hangat pada keduanya, sebelum sang Ayah memacu laju mobil menuju tempat les Sina.

“Hari ini kamu les apa, dek?” tanya Rena yang mengambil posisi duduk dibelakang.

Lihat selengkapnya