Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #4

Tiga (Sina)

Jakarta, Desember 2019.

Tadi malam aku bermimpi.

Diikat dalam sebuah kegelapan, tanpa siapapun. Sangat terasa tubuhku tidak memiliki daya. Bahkan untuk sekadar membuka mata dengan lebar dan sadar. Samar pendengaranku menguping suasana diluar sana. Hujan. Ya, aku tahu ini sedang hujan, dan aku sangat kedinginan. Aku menghela nafas dalam beberapa kali, meskipun setelahnya masih tersengal hebat.

“Aku dimana?” pertanyaan linglung yang seketika mencuat dalam benakku. Tanganku meraba sekitar. Tempatnya begitu sempit, membuat tubuhku lumayan meringkuk.

“Apa ini lemari? Didalam lemari?” tebakku lagi, masih dengan tenaga yang tersisa, mencoba membuka mata. Beberapa detik setelahnya, aku sadar, ini adalah tempat itu. Mataku kembali terpejam, namun tanganku mencoba memukul salah satu sisinya.

“Aku ingin keluar…siapapun diluar sana, tolong aku! Keluarkan aku!” Aku mendapati salah satu sisi yang ku pukul itu adalah pintu. Tanganku benar-benar lemas. Mengangkatnya saja, aku harus menahan nafas yang begitu hebat. Wajar saja, jika aku sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk mendobraknya. Teriakanku lemah. Hujan deras diluar tentu tidak akan bisa membuat siapapun mendengarkanku. Bodohnya, hal yang sama tetap ku lakukan berulang kali. Berharap seseorang bisa benar-benar menemukanku.

Suasana mencekam dan sengal itu buyar. Aku terbangun dengan keringat dingin yang bercucuran, tepat setelah nada alarm ponselku berbunyi. Mataku terbuka dan mendapati suasana kantor yang sudah menghangat karena sorotan sinar matahari pagi. Aku mendudukkan diri disofa. Menyisir sekitar, memastikan bahwa keadaan yang baru saja terjadi hanyalah mimpi. Bahkan, aku memukul pipiku, untuk memastikan pula bahwa keadaan ini bukanlah mimpi. Setelahnya, aku menghela nafas lega. Ingatan tentang mimpi itu berakhir, saat ada seseorang yang benar-benar menemukan seorang Sina kecil didalam lemari yang terbuang.

Agitaku

Risa jam 9. Hana jam 1. Pamela jam 3. Jgn smpe telat! Gw udh suruh org buat nganterin pakaian ganti lu. Tunggu dikantor, gw sdh dlm prjlanan.

Pesan teks Agita baru saja ku baca. Seperti biasa, aku tahu, bahwa temanku yang satu ini pasti akan menyelesaikan perintah dariku secepat mungkin. Aku pun tersenyum tipis tanda puas. Mataku lalu mengitari sekitar, mencoba mencari letak dari tas pribadiku. Meraihnya, lalu memastikan sesuatu yang selalu ku bawa ada didalamnya. Hal yang sama selalu ku lakukan setiap kali aku sendirian. Memastikan benda tajam itu dapat ku ambil secepat mungkin, saat mengalami sesuatu yang tidak diinginkan ketika tidak sedang bersama siapa pun.

Kebiasaanku sudah dihapal semua karyawan dikantor ini. Jadi, ketika aku lewat, atau sekadar menyapa, mereka menyembunyikan semua benda tajam dari atas meja mereka. Memang sedikit merepotkan, tapi itulah cara terbaik lingkungan mencoba untuk mengendalikanku dari sesuatu yang bisa membuatku hilang kendali.

Sejujurnya kepalaku sedang terasa pengar. Ingin sejenak istirahat sedikit lagi, namun jam pada layar ponsel sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak biasanya aku tertidur dikantor, juga bangun terlambat. Bahkan sudah lama aku merasa tidak bisa tidur sepulas ini. Badanku terasa ngilu dan otot-otot dileherku terasa tegang. Aku tidak memiliki pilihan lain selain memaksa diri untuk berdiri, berjalan menuju mini pantry dan mengambil segelas air hangat untuk diminum. Setelahnya, aku bergegas untuk bersiap menghadapi pertemuan khusus hari ini.

****

Agita kesal. Ia melontarkan umpatannya via Whatsapp kepadaku. Namun, dengan tanda centang biru yang ku matikan, ia tidak akan tahu aku sudah menerima pesannya atau belum. Beberapa kali panggilan masuk darinya, tapi tidak ku angkat. Alih-alih menelepon balik, aku memilih mematikan nada dering ponsel dan mengeraskan musik dari speaker mobil yang sedang menyala.

Pukul sembilan pagi aku meluncur keluar kantor untuk menemui klien khususku yang pertama. Setelan pakaian formal yang diantarkan kurir atas perintah Agita tidak ku kenakan. Begitu pun dengan ruang meeting yang sudah ia persiapkan, tidak ku gunakan. Hari ini, jiwa jahilku benar-benar menggeliat hebat. Mungkinkah efek dari rasa pengar yang baru saja mereda? Entahlah. Satu hal yang pasti, aku tidak ingin mengikuti alur yang sudah dibuatkan Agita untukku.

Beginilah selama sekitar dua tahun perempuan itu bekerja untukku. Kesabarannya benar-benar diuji hebat. Terlebih lagi, untuk melayani orang yang memiliki kelainan dari segi kesehatan mental seperti diriku. Ya, kelainan. Sebuah kelainan yang tercipta karena faktor lingkungan, bukan karena bawaan lahir. Jika sesuatu sedang mengganggu, moodku benar-benar akan berubah seketika. Jika aku sedang dilanda rasa malas, keinginan untuk tidak diatur orang lain begitu tidak bisa ku bendung. Seperti yang sedang terjadi saat ini.

Agitaku

Sinaaaaaaaaaaaaa!!!!!

Lu mw ketemu klien woy! Knp jd pakai pakaian begitu???

Lihat selengkapnya