Jakarta, Desember 2019.
Aku tidak tahu Sina orangnya seperti ini. Setiap kali aku memandang wajahnya, memang tidak ada cela yang bisa ku temukan. Mau seperti apapun penampilannya, dia adalah sosok perempuan perfect menurutku. Aku juga cukup dibuat terkejut dengan setelan crop top sexy warna hitam perpaduan abu yang ia kenakan hari ini. Bukan seperti apa yang ada dalam ekspektasiku. Tidak, sejujurnya aku tidak berekspektasi apapun. Ketika dihubungi asistennya sebagai tindak lanjut dari cerita yang ku bagikan pada platform Forty Seconds, aku cukup tahu bagaimana seharusnya penampilan seorang Psikolog pada umumnya. Juga bisa membayangkan, bagaimana suasana saat saling bersapa dan membagikan cerita kepada mereka dengan berbaring santai pada sebuah kursi empuk.
Sudah sekitar satu jam berlalu kami bersama, dan hingga saat ini, aku sudah melihat puluhan gaya dia lakukan dalam satu waktu. Ku pikir…
Dia sama sekali tidak seperti Psikolog.
Tawaku hampir saja lepas. Dia bersenandung bernyanyi, mengiringi lagu yang sedang diputar pada speaker mobil, tapi false. Dia juga berteriak seperti orang yang kehilangan kendali, dan aku hampir saja tidak percaya, dia orang yang paling berjasa dibalik Forty Seconds. Ternyata, orang kaya tidak selamanya mampu mendapatkan apa yang ia inginkan. Jika Sina adalah orang terakhir yang harus ku temui sebelum kematianku menjelang, entah kenapa, dengan tingkahnya begini, aku merasa rugi sendiri.
Saat menjemputku tadi, dia bilang akan mengajakku bersenang-senang. Ternyata, definisi bersenang-senang menurutnya adalah dengan sepuas hati bermain di wahana taman wisata Ancol. Whats?Are you kidding?
“Kalo gue setuju buat ketemu lo diruang meeting kantor, kita ga bakalan nyampe tempat ini, Ris.” Ujarnya dengan begitu ceria. Aku masih tidak mengerti, ini orang kenapa sih? Kan gue pasiennya?
Berbagai wahana dia jajaki bersamaku. Berbagai macam ekspresi pula dia keluarkan dengan begitu lepas. Hal tak terduga selanjutnya yang keluar dari mulutnya, “gue baru pertama ke tempat ini, Ris! Hahaha!” Whats??? Disaat gue udah bener-bener bosan sama tempat ginian, dia bilang baru pertama? Sumpah, gue sedikit geli. Dia kemana aja sih selama masa hidupnya? Eh btw, ini sesi konsultasi? Apa gimana sih?
Asistennya yang bernama Agita itu tidak mengatakan apapun selain memberikan jadwal temu ku dengan Sina, dan menginformasikan kalau Sina sendiri yang akan menghubungiku. Tidak ada informasi lebih lanjut. Begitu pun dengan apa yang harus ku hadapi dengan perempuan ini, hari ini, ditempat ini. Tapi anehnya, aku menikmatinya. Hingga sore hari menjelang, dia mengajakku sekadar bersantai di pinggiran pantai Ancol. Aku menatap hamparan laut didepan mata. Sina pun melakukan hal demikian. Kami sama-sama saling tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Apa tenggelam tidak sakit ya?” aku menempatkan hayalan jika kelak, memutuskan bunuh diri dengan menyatu bersama laut. Sina benar. Jika semua yang ku inginkan hanya sekadar kematian, aku tidak perlu repot-repot menceritakan banyak hal pada profil singkatku di Forty Seconds. Tidak ingin merasa munafik, aku akui, jika memang masih ada hal yang sangat ku inginkan.
“Siapa dia?” Tanya Sina, memecah lamunanku. Dia masih betah mengenakan kacamata hitamnya. “Siapa yang sudah membuatmu jadi penjahat untuk dirimu sendiri?” Lanjutnya, melihat kebingungan yang tergurat diwajahku. Aku sekarang mengerti kemana arah pembicaraan ini ingin Sina giring. Cara bertanyanya yang lugas, tidak seperti Psikolog yang berhati-hati.
“Gue gak berpikir lo punya gangguan kesehatan mental…” tukasnya, “tapi jiwa lo yang terombang ambing ditengah keinginan untuk mati itu pasti ada sebabnya.” Sina berjalan dan membuka pintu mobil belakang. Dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Tiba-tiba saja, dia menarik pergelangan tanganku lalu meletakkan sesuatu -yang tajam itu- diatasnya. Gue kaget dong! Sumpah!
“Kalo lo pengen mati, sini! Biar gue bantu buat mempercepat kematian lo.” Sina nampak tidak main-main. Ini cewek, Phsycho? Aku benar-benar berkeringat dingin dibuatnya. Genggamannya dipergelangan tanganku sangat kuat. Dia tidak sedang bermain-main. Alih-alih merasa seperti bertemu Psikolog, aku merasa lebih seperti bertemu dengan malaikat maut.
“Lo mati sekarang, gak akan menyelesaikan apapun. Lo mati nanti? Kalo masalah ini gak selesai-selesai, arwah lo juga gak bakalan tenang. Percaya deh!”
Aku masih tak bergeming. Sejujurnya, benda tajam diatas kulitku ini sudah lumayan menorehkan rasa perih, meskipun tidak berdarah.
“Kalo lo takut gue iris disini bakal bikin lo gak langsung mati, gimana kalo disini?” Sina mengalihkan benda tajam itu dari pergelangan tangan kananku ke leher, tepat dimana urat pernafasan inti ada disana. Eh, buset! Sekarang ini terkesan seperti adegan kejahatan dong! Serius tanya, ini cewek, Psikolog?
Aku kedip-kedip kebingungan, sekaligus kaget. Beberapa kali meneguk air liur, membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba saja terasa gersang.
“Sudah gue duga…” Sina melepaskan genggamannya, lalu menjauhkan pisau itu dan melipatnya kembali, “lo sendiri takut buat mati! Lo cuma kehilangan cara bagaimana untuk hidup kembali!” simpulnya yang memang dibenarkan oleh benakku.
“Uang? Gue bisa kasih lo banyak uang. Cukup untuk melunasi semua hutang-hutang lo, dan lo bisa makan juga dari situ.” Sina melepaskan kacamatanya. “Tapi, jika mindset lo tetap sama, sebanyak apapun uang yang gue kasih, lo bakal berakhir dengan cara yang sama. Kenapa? Karena permasalahan intinya itu bukan disitu. Bukan sekadar uang yang lo inginkan. Tapi dia.” Semua tebakan yang Sina lontarkan…benar!
Aku masih terdiam menatap Sina, yang ku pikir, dari tadi mati-matian memancingku untuk -setidaknya- bercerita sedikit tentang apa yang telah terjadi dimasa lalu. Entah ini perasaan apa, tapi kelakuan Sina seperti ini cukup berhasil hampir membuatku ingin bercerita. Hanya saja masih ku tahan. Ku lihat dia duduk kembali di atas kap mobil, dan memasang lagi kacamatanya. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, dan disana, ku temukan hatiku kembali tersayat.
****