Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #6

Lima

Jakarta, Desember 2019.

Agita pusing. Tiga klien khusus yang ia agendakan bertemu Sina dalam satu hari, dua diantaranya harus di re-schedule. Setelah kabur membawa Risa, klien mereka yang pertama kemarin, Sina hanya tertawa geli mendengarkan omelan Agita hari ini.

“Lo itu punya gue, Sina. Lo musti konfirmasi apa yang mau lo lakuin terkait kerjaan, biar gue gak bingung!” Tegas Agita ketus, sembari memberikan seduhan mie instan yang di request Sina saat ia sibuk di mini pantry. Agita memiliki usia lebih muda tiga bulan dari Sina, namun sikap keibuan yang ia miliki membuat Sina merasa seperti memiliki sosok kakak yang selalu mendengarkan dan sabar dengan semua perubahan kelakuan yang ia alami.

“Ya kan lo tau gue, Git. Gue paling mudah buat berubah pikiran kalo tiba-tiba ada hal menyenangkan yang pengen gue lakuin. Hahaha!” Jawab Sina santai, lalu melahap makanan yang sudah ada didepannya.

“Trus kemarin Risa lo bawa kemana?”

“Ancol.”

“Hah?” Agita melongo kaget. “Lo bawa klien kesana? Ngapain?”

“Kenapa emang?”

“Ya kan lo mau adain sesi konsultasi sama dia. Kenapa jadi lo bawa ke wahana bermain gitu sih?”

“Kan bermain salah satu metode.”

“Tapi Risa bukan anak kecil, Sin.”

“Tapi pikirannya masih anak kecil.” Sina menjawab singkat. Membuat Agita semakin heran. Dilihatnya, rekan kerjanya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan atas kelakuannya kemarin.

“Tahu darimana? Lo kan baru ketemu dia satu kali.”

“Ya tahu aja. Orang, kalo pengen mati, gak bakal umbar sana sini buat cari perhatian. Gue tahu dia pengen sesuatu yang lebih selain kematian.”

“Apa itu?”

Sina terdiam sejenak, lalu menjawab, “ada deeeehhh!”

Agita sudah tidak bisa menahan. Dia berjalan dan menempatkan tubuhnya disamping Sina, lalu mendaratkan satu pukulan keras dipundak teman yang merupakan atasannya itu. Sina hanya tertawa gelak. Entah mengapa, melihat Agita kesal, merupakan hiburan tersendiri untuknya.

“Oh ya, Sin.” Agita tiba-tiba teringat sesuatu. “Gue ada kabar yang kurang enak buat lo.”

Sina pun ikut menghentikan tawanya, “apa?”

“Lo tau kan klien khusus kita yang punya riwayat Skizofrenia?”

“Iya. Kenapa dia?”

“Asisten Satya yang merupakan pengelola website itu bilang, kalo Satya mau ketemu sama lo langsung buat ngebahas dia.”

Sina terperanjat. Dia yang sedari tadi menikmati makanannya, tiba-tiba berhenti, seperti kehilangan nafsu makan. Ditatapnya Agita lekat-lekat. Mengharapkan ada saran yang bijak keluar dari mulut temannya itu. Namun Agita hanya diam, ikut menatap Sina balik. Ia tahu, Sina selalu mengubah moodnya setiap kali nama Satya mencuat. Begitu pula yang terlihat sekarang. Namun, demi profesionalitas kerja, Agita merasa harus menyampaikan hal ini kepada Sina.

“Kenapa begitu?” Sina mencoba menimbang.

“Karena klien kita itu ternyata pasien Satya. Riwayat Skizofrenia pernah membuat dia dirawat dirumah sakit, dan Satya Psikiater penanggung jawabnya.”

“Cuma buat ngebahas si klien saja, atau mencoba untuk ikut campur?” Tanya Sina sedikit ketus. Agita mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu. Sina menghela nafas dalam-dalam, lalu menyelesaikan santapan mie instannya.

“Hari ini ketemu klien kedua jam berapa?” Sina mengalihkan pembicaraan.

“Jam 1.” Agita bergegas mengambil tas dan mengikuti langkah Sina yang beranjak pergi. Dalam percakapan mereka, diketahui bahwa Sina bersedia bertemu Satya terlebih dahulu sebelum klien kedua.

****

Lihat selengkapnya