Jakarta, Desember 2019
Sejak menyetujui untuk bertemu dengan Satya, hati Sina sungguh tidak karuan. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu, tanpa diwarnai komunikasi apapun. Hari ini, untuk pertama kalinya mereka berjumpa. Rasanya, seperti berjalan kembali ke bayang-bayang masa lalu, yang sebenarnya ingin Sina tinggalkan. Siang itu Sina pergi tanpa Agita. Asistennya itu memilih untuk makan siang dengan teman kantor yang lain. Ia kemudian tiba disebuah tempat yang sudah di reservasi terlebih dahulu.
Sebuah restoran tampak ramai. Jam makan siang karyawan kantor telah tiba. Sina disana hadir dengan seseorang yang sangat ingin bertemu dengannya. Keramaian yang cukup bising, membuat Sina memilih sebuah ruangan VIP dari restoran tersebut untuk bertemu. Sebuah ruangan yang seharusnya digunakan setidaknya sepuluh orang, hanya mereka gunakan berdua. Tentu dapat dibayangkan bagaimana Sina bisa dengan leluasa mengatur jarak dengan Satya.
Sina bertemu Satya pada lorong restoran menuju ruang VIP. Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, dan tentu saja, suasana canggung jelas terasa. Sebuah hubungan masa lalu yang berakhir tanpa kejelasan. Ditambah lagi dengan kesalahpahaman yang belum usai. Kemudian menjadi semakin rumit dengan komunikasi yang sengaja dihancurkan Sina. Lengkaplah puzzle itu memiliki rongga dimana-mana. Masing-masing dari mereka memilih berhenti saat itu, dengan keyakinan mampu saling melupakan dimasa depan. Satya dengan ego lelakinya yang kuat, Sina dengan sikap suka menerkanya. Namun siapa sangka, hari ini, ditempat ini, untuk pertama kalinya, mereka bertemu kembali.
Berbagai macam menu telah disajikan. Sina tergolong orang yang tidak ribet untuk urusan makanan, namun proteksi yang diterapkan oleh Agita, membuat restoran ini menyajikan menu-menu berkualitas yang begitu sehat. Mereka berdua mulai menyantap hidangan dan sepakat untuk tidak membahas hal-hal rumit selama makan siang masih berlangsung. Hari ini, pakaian yang Sina kenakan lebih formal daripada saat bertemu Risa. Agita mengawasi Sina dengan begitu ketat, hingga tidak membiarkan sahabatnya ini kembali berulah. Apalagi untuk bertemu dengan seseorang yang Special.
Sina menggunakan setelan kantor dengan celana dan blazer berwarna maroon. Rambutnya yang panjang ditata curly dan tidak mudah berantakan. Jam tangan rolex melingkar dipergelangan tangan kiri dan ada cincin dengan ketebalan tipis melingkar di jari tengah sebelah kanan. Sedangkan diseberangnya, Satya tampak gagah. Dengan setelan jas warna biru malam tanpa dasi, dia membiarkan kemeja abu-abu muda didalamnya terbuka dua kancing. Rambutnya sangat rapi dengan sisiran mengarah ke belakang, menampakkan bagian dahinya yang tampak sempurna. Kulit wajahnya juga terawat. Hidungnya mancung dan bibirnya merah merekah. Jika dilihat dari kejauhan, mereka seperti dua orang pasangan kekasih yang sedang menjalani kencan buta ala drama korea.
Sina menyudahi santapannya dengan meminum segelas air putih. Disusul dengan Satya yang melakukan hal serupa. Setelah menu makanan utama selesai, pramusaji datang dengan hidangan penutup berupa dessert Golden Opulence Sundae untuk mereka berdua. Sembari menikmati itulah obrolan pun dimulai.
“Kamu sudah berapa lama di Jakarta?” Satya bertanya mengawali pembicaraan.
“Dua tahun.” Sina menikmati dessert tampak tak acuh.
“Sudah lama kita tidak berjumpa, Sin.”
“Hmm…”
“Aku baru sadar kalau Forty Seconds itu kamu yang dirikan. Kemarin pas dihubungin sama Agita tentang pasienku, aku minta ketemu lebih dulu untuk menyampaikan sesuatu.” Satya menyeruput secangkir kopi.
“Tentang pasien kamu?”
“Iya.”
“Gue tahu kami dapat informasi tentang pasien itu dari website kamu. Tapi gue gak nyangka, ternyata bisa kembali menghubungkan kita begini. Gue dengar, dia pasien yang pernah kamu rawat karena mengidap Skizofrenia, kan?”
“Kamu masih belum menyadari sesuatu, Sin?”
Sina menghentikan laju suapannya. Ia menatap heran ke arah Satya, meminta penjelasan lebih lanjut.
“Tentang pasien itu…” Satya mencoba mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan. “Kamu udah baca profil lengkap dia belum?”
Sina menggeleng.
Betul. Sina hanya membaca review pasien berdasarkan apa yang dia tulis dan ceritakan pada website. Dan untuk pasien bernama Pamela itu, Sina…
Sebentar.
Sina tiba-tiba menyadari sesuatu. Nama Pamela mengingatkan dia pada seseorang.
“Satya, Pamela ini… Pamela yang kita kenal?”
Satya mengangguk mantap. “Yustika Pamela Sigit. Pasien Skizofrenia yang pernah ku tangani satu tahun yang lalu.” Satya lalu mengeluarkan berkas riwayat pengobatan yang pernah Pamela terima. “Saat tahu dari Agita, kalau kamu menginginkan dia untuk kamu tangani secara pribadi, aku ragu kamu sudah membaca profil dia keseluruhan.”
Sina menyingkap satu per satu lembaran yang diberikan Satya. Ia mendapati kenyataan pahit selanjutnya, sekaligus hal mengejutkan lainnya. Kenyataan bahwa seseorang yang tampak cocok dengan kriterianya, adalah rival yang sangat tidak ingin lagi Sina temui selepas masa SMA berakhir. Disisi lain, ia cukup terkejut dengan riwayat pengobatan yang Pamela terima, dan setengah tidak percaya, sosok perempuan tangguh saat itu kini tenggelam dalam dunia yang menakutkan.
“Sejak…sejak kapan dia mengidap ini, Sat?” Sina bingung harus bereaksi seperti apa. Ketidakpercayaan masih menyelimuti perasaannya.
“Menurut pamannya, dia mulai bertingkah aneh selepas bisnis orang tuanya hancur dan kedua orang tuanya bercerai. Kondisi itu semakin diperparah ketika ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi.”
“Dia tinggal ikut ayahnya?”
“Awalnya iya. Tapi sepertinya, hubungan dengan ibu tirinya tidak berjalan mulus. Jadi, dia minta tinggal terpisah.”
“Berarti…Pamela sudah lama tinggal di Jakarta?”
“Betul.”
“Sejak kapan dia kembali dari Harvard?”
“Menurut informasi, tawaran Harvard University tidak ia ambil. Aku tidak tahu persis apa dia yang menolak, atau memang gagal. Hal pasti, dia tidak berangkat ke Amerika.”
Sina semakin termangu. Ia hampir tidak bisa bereaksi apapun setelah mendengar semua cerita tentang Pamela dari mulut Satya, selaku Psikiater yang pernah menanganinya. Selebihnya, perasaan bimbang luar biasa melanda Sina. Sejenak ia terdiam. Menimbang baik-buruk dalam hatinya. Berdasarkan riwayat yang dibaca, Pamela memerlukan bantuannya sebagai seorang Psikolog. Namun, terlepas dari itu semua, Sina tidak benar-benar yakin, mampu berdamai dengan masa lalunya.
****
Yogyakarta, Mei 2009.
Hari-hari manis sedang dirasakan siswa-siswi kelas tiga yang telah menyelesaikan study mereka selama tiga tahun disekolah ini. Hiruk pikuk, sorak gembira, tawa dan canda menyatu dalam perayaan hari kelulusan mereka, yang diumumkan -lagi lagi- dengan cara yang mewah. Perayaan hari kelulusan dilaksanakan terpisah dengan perpisahan siswa yang digelar bulan depan. Hari ini, sekolah mempersembahkan perayaan terbaik dengan menyulap halaman sekolah yang super luas itu, menjadi bak pesta pernikahan dengan dekorasi outdoor.
Sajian makanan berlimpah ruah. Alunan musik santai sedari tadi mengalun dari sebuah panggung besar didepan kantor guru. Anak-anak pun datang dengan busana mereka masing-masing, membawa serta kado-kado terbaik sebagai tanda terima kasih mereka kepada para wali kelas ataupun guru yang ingin mereka beri penghargaan. Dari gerbang, terlihat satu per satu siswa masuk. Mereka disambut dan berjalan seperti sedang berada pada nuansa red carpet sebuah acara award. Ya. Ini memang sebuah acara yang paling dinantikan mereka selain perpisahan. Pada kesempatan ini pula, seluruh siswa berkesempatan menampilkan kemampuan terbaik mereka di atas panggung.
Sebuah pemandangan hangat terlihat disalah satu sudut pesta. Sina mengenakan long dress tanpa lengan berwarna pastel dengan aksesoris kalung melingkar dilehernya. Ia ditemani Agita dan tiga orang teman lainnya. Juga datang Satya dengan satu nampan berisikan enam gelas orang juice di atasnya. Setelah masing-masing mereka mengambil satu gelas, tatapan mereka beralih pada sesuatu yang begitu hangat.
Terlihat video dokumenter yang diputar oleh tim kreatif sebelum acara dimulai pada pukul tujuh malam. Satu per satu kenangan yang mereka abadikan muncul pada layar besar itu. Menampakkan banyak perubahan yang terjadi dari awal mereka masuk, hingga menjelang kelulusan tiba. Semua larut dalam kenangan itu. Tidak terkecuali Sina. Raut yang tergambar pada wajah Sina sangat jauh berbeda seperti ketika ia pertama kali berada pada tahun pertama SMA.