Jakarta, Desember 2019.
Harus ku akui, tidak ada orang yang pernah ku kenal sesabar Agita. Mau kelakuanku seperti apapun, dia selalu tampil memperbaikinya. Meskipun setelahnya, ia akan mengomel habis-habisan, dan selalu berulang-ulang sekian jam lamanya. Seperti pagi ini.
“Sina, kalau lo kayak gini terus, bisa-bisa gue nikah umur empat puluhan…” keluhnya sembari membereskan berkas di ruang meeting.
“Emang lo gak punya pacar, Git?” Tanyaku santai, yang kemudian dibalas dengan dengusannya yang begitu jengkel.
“Emang lo pernah liat gue kencan sama cowok? Hidup gue habis-habis ngurusin idup lo, Sin.” Sungguh, aku sama sekali tidak tahu kalau ternyata Agita tidak memiliki kekasih.
“Lah? Gue kira tempo hari lo ijin cuti ya mau kencan.” Sanggahku yakin. Agita semakin terlihat kesal dan wajah mungilnya benar-benar semakin menggemaskan. “Kalo gue cowok, udah gue pacarin lo itu, Git.” Sumpah! Ini menggelikan. Agita juga tiba-tiba terperanjat dan spontan memukulku dengan kumpulan berkas yang sedang ia pegang.
“Gue masih normal, Sinaaaa!!!” Suaranya melantang, setengah berteriak. Kami saling tertawa sebelum akhirnya pesan pada ponselku masuk. Sebuah pesan singkat melalui Whatsapp dari Satya.
Satya
Sin, aku udah coba komunikasi sama keluarga Pamela.
Mereka setuju untuk bertemu.
Aku ingat, kemarin, sebelum pulang Satya menyetujui untuk ikut membantuku menemukan komunikasi yang tepat dengan keluarga Pamela. Menemukan informasi terbaru tentang keberadaan Pamela, juga kondisinya. Anehnya, kali ini aku tidak keberatan. Sebelumnya, aku sempat meletakkan pikiran negatif padanya. Sejak beberapa hal terjadi ketika SMA, aku memutuskan untuk mencoba lepas dari bantuan Satya. Selain karena tidak ingin mendapatkan cibiran orang lebih banyak, aku juga ingin tahu sejauh apa kemampuanku dapat berkembang. Ternyata sekarang, aku tidak memiliki pilihan lain.
Sebenarnya, bisa saja aku pergi lagi, mengabaikan Pamela dan semua kondisinya, menghilang dari Satya dan menemukan pasien lain yang memiliki kriteria tepat. Namun, sebagai seorang Psikolog, disinilah aku yakin Tuhan memberikan jalan. Selain membantu menghilangkan trauma masa lalu, mungkin saja hal ini akan membantuku memperbaiki masa lalu, utamanya dengan segala hal terkait Pamela dan Satya yang -sejujurnya- sangat ingin ku lepaskan. Aku juga tidak bisa mengabaikan kondisi Pamela, yang secara langsung masih bisa dihitung teman, terlepas dari semua kejadian yang pernah terjadi.
Tidak. Aku bukan orang yang sejahat itu. Gelar predator gila yang ku sandang lahir bukan karena permasalahanku dengan Pamela maupun Satya. Semua itu tercipta atas dasar apa yang ku tunjukkan kepada mereka, karena berusaha menutupi apa yang sudah ku lalui. Kejadian yang terjadi di Palangka Raya itu sengaja ku tutup rapat-rapat, apalagi dengan keputusan keluarga untuk memindahkanku ke Yogyakarta, saat itu pula aku berpikir untuk membangun karakter baru bagi seorang Sina.
Pernahkah kalian melakukan hal yang sama? Membangun sebuah fantasi untuk menutupi kekurangan diri. Berperilaku seolah semua yang kalian inginkan adalah kesempurnaan, maupun kebahagiaan yang nyatanya semu. Terjebak dalam perilaku berandai-andai untuk sesuatu yang -sebenarnya- sudah hilang, namun kalian enggan mengakuinya. Berbicara dengan diri sendiri, yang perlahan justru menciptakan karakter seseorang yang kalian visualisasikan dalam bentuk teman bicara setiap kali kalian duduk sendirian. Bukankah seperti itu Skizofrenia?
Itulah mengapa, dalam objek yang ku cari dari Forty Seconds salah satu targetnya adalah pengidap Skizofrenia. Sebab dalam fantasi yang ku ciptakan, seorang Sina adalah sosok tangguh dengan segala ketidak takutannya akan apapun, kecuali Tuhan. Hingga hari ini, sesekali aku akan terjebak dalam situasi tak ingin mengakui, bahwa aku telah dijadikan yatim piatu secara paksa. Namun, ketika mengetahui pengidap itu adalah Pamela, sosok Sina yang hangat dan penuh iba muncul ke permukaan.
“Siapa, Sin?” Agita menyapa, membuyarkan lamunanku.
“Satya. Dia ngabarin gue kalo keluarga Pamela setuju untuk bertemu.”
“Pamannya?”
“Sepertinya iya. Gue juga kurang tahu, karena memang selama ini yang intens komunikasi ya Satya, selaku Psikiaternya Pamela.”
Agita orang yang cukup peka. Dia menepuk pundakku pelan, untuk memberikan semangat. Kekhawatiran memang sedang melanda hebat. Aku tidak menyangka, menemukan tiga target yang tepat harus melalui fase ini. Bahkan hingga saat ini, aku masih memikirkan pola komunikasi seperti apa yang ingin ku gunakan kepada Pamela.
“Saran gue, lo temuin dulu keluarga Pamela. Gali informasi terbaru dari sana, baru setelah itu lo bisa putuskan, tetap ingin membantu Pamela, atau mencari orang lain saja.” Saran Agita sembari mendampingiku berjalan keluar dari ruang meeting.
“Gue cuma takut aja, kehadiran gue bakal memperburuk kondisi Pamela, daripada menyembuhkannya. Lo kenal dia sejak SMA, Git. Lo tau gimana angkuhnya dia dengan semua kata-kata kasarnya ke gue.”
“Gue ngerti kok. Makanya, lo musti tahu dulu posisi kondisi Pamela sekarang gimana, lalu pendekatan selanjutnya jadi PR lo. Ingat, tempatkan diri lo sebagai seorang Psikolog, bukan Sina.”
Aku mengangguk, lalu mengeluarkan sesuatu dari sakuku sebelum meneruskan langkah menuju pintu keluar, sedangkan Agita berbelok menuju lift.
“Ini.”
“Apa ini?”
“Hadiah atas kerja keras lo sejauh ini. Bukan sebagai Bos, tapi sebagai seorang Sina.”
“Buat apa?”
“Gunakan ini untuk berpergian tiga hari, Git. Lo gue suruh cuti mulai hari ini dan gunakan waktumu dengan baik. Pulihkan tenaga sebelum event itu dimulai. Biar gue tangani sisanya. Jangan khawatir.”