Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #9

Delapan (Hanafira)

Banjarmasin, Juni 2019.

Aku baru saja pulang, selepas menemani mama mengambil beberapa pakaian tetangga untuk dicuci. Mengangkat keranjang, mengeluarkan lalu memasukkannya ke dalam mesin cuci. Ya, aku berasal dari keluarga sederhana. Untuk bertahan hidup, kami menekuni beberapa pekerjaan sampingan, salah satunya adalah usaha laundry kecil-kecilan. Mama adalah salah seorang pembantu rumah tangga di sebuah keluarga besar yang kaya raya. Namun, dengan biaya hidup yang semakin meningkat, juga biaya kuliah adikku yang lumayan besar, membuat kami harus kompak melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya.

Pagi menjelang siang, semua cucian sudah selesai. Aku pamit masuk ke kamar dan mulai mengambil beberapa barang daganganku yang belum ku posting hari ini. Sebenarnya, aku adalah seorang Sarjana Ekonomi. Cukup bagiku dengan memiliki ijazah itu mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun, akibat PHK masal beberapa waktu yang lalu, aku menganggur hingga sekarang. Sudah ratusan lowongan kerja ku apply, namun hasilnya masih nihil. Tidak ada panggilan, bahkan diantaranya pun ditolak. Hampir saja pula, aku kena tipu orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang mengatasnamakan suatu perusahaan tertentu yang mengatakan aku diterima bekerja disana dengan syarat ini itu.

Yap, seputus asa itu aku sekarang. Namun kalian tahu apa yang lebih membuatku putus asa? Omongan tetangga.

“Bulan depan, anak Erni yang seusia Fira menikah lo.”

“Fira kapan?”

“Fira ada pacar gak? Agak susah sih cari jodoh kalau usia udah segini.”

“Fira mau gak tante jodohin? Kebetulan ada kenalan tante, duda tanpa anak. Dia lagi cari istri.”

Bla. Bla. Bla.

Usiaku memang tengah menginjak dua puluh enam tahun. Kalau belum menikah, lalu kenapa? Bukankah fase kehidupan setiap orang itu berbeda? Bukankah prioritas dalam hidup masing-masing orang itu tidak sama? Lalu kenapa seseorang mencoba ikut campur urusan hidup orang lain, sementara hidupnya saja belum tentu beres?

Hatiku benar-benar jengkel.

Tidak. Aku tidak jengkel dengan omongan mereka. Bagiku, mereka mengurusi hidupku itu tanda perhatian yang memang berlebihan. Selama aku merasa tidak dirugikan, aku merasa tidak apa-apa. Tapi bagian yang tidak ku suka dari ini adalah, saat dimana mama dan adik juga ikut-ikutan merasa tertekan, lalu menekanku dengan omongan yang hampir serupa. Mengapa mereka lebih mudah mengerti omongan orang lain dibandingkan omonganku? Padahal, aku sudah berulang kali menjelaskan. Aku juga sedang ikhtiar.

Menikah itu sakral. Tidak ada yang ingin menikah, lalu bercerai karena salah pilih pasangan. Tidak bisa juga aku sembarang terima laki-laki yang tiba-tiba menawarkan diri untuk meminangku. Tidak segampang itu Ferguso! Aku bukan kucing, yang sekali ketemu, cocok, lalu langsung kawin. Bagiku, kecocokan dalam segala hal itu penting. Tampan itu nomor sekian, hal utama adalah kenyamanan. Kalau aku tidak nyaman, bagaimana aku bisa memperlakukan dia sebagai pasangan dengan baik? Tuh kan, ngegas gue jadinya!

Aku mendumel dalam hati sepanjang aktifitasku memajang barang dagangan melalui online shop yang ku jalankan. Beberapa pesan masuk via Whatsapp untuk melakukan order. Sebagian lagi menanyakan prosedur untuk bisa menjadi reseller daster yang sedang ku geluti. Yap, seseorang mengajariku untuk fokus berjualan daster. Dia memiliki alasan sendiri mengapa akan banyak keuntungan yang ku dapatkan dari bisnis ini, meskipun sekarang belum terlihat. Seorang kenalan yang ku kenal melalui dunia maya. Transaksi kami berkali-kali, dengan kualitas barang yang oke, cukup membuatku percaya bahwa dia produsen yang amanah.

Randy Suparmanto. Lelaki berparas lunak, namun memiliki prinsip hidup yang kuat. Komunikasiku dengannya berjalan zig-zag. Kesibukannya dengan pekerjaan, bisnis, sekaligus sebagai seorang motivator, membuat kami berkomunikasi seadanya.

Mas Randy

Ya sudah jd istriku aja sini, trus jualan daster aja km,

Belajar dari nol. Q tak fokus kerja hahaha.

Mas Randy

Ga aku gantung deh, tp nikahnya disini. Gimana?

Tak tawarin. Pikirkan itu..

Q ga nawarin org 1.5x atau 2x

Kalau deal mah, baru ngobrol panjang lebar

Hampir setiap malam selepas pesan-pesan itu ia kirimkan padaku, aku terus bolak balik membacanya. Bahkan nyaris menghapalnya. Sudah beberapa hari berlalu, dan aku mencoba meyakinkan diri. Mas Randy orang yang baik. Dia juga satu frekuensi pikiran dengan jalan pikiranku. Hanya saja, kami terpisah jarak yang begitu jauh. Ia tinggal bersama orang tuanya, di Purworejo, Jawa Tengah. Seringkali bolak balik Yogyakarta untuk mengurus bisnis dasternya. Sedangkan aku, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Isi pesan-pesan yang masuk itu sangat banyak. Tidak sebatas itu saja. Beberapa kali komunikasi, kami sudah sepakat untuk beberapa hal. Termasuk untuk bertemu di kota Yogyakarta bulan depan. Sejujurnya, aku menanggapi ini masih dalam konteks biasa. Memang terbilang nekat, setuju untuk menikah dengan orang yang belum pernah kita temui. Tapi cara dia meyakinkanku, cara dia meyakinkan keluargaku, membuatku cukup terkesan. Keraguan sering kali muncul, setiap aku ingat dia seseorang yang memiliki pekerjaan, bisnis, dan memiliki nama yang lumayan sebagai seorang Business Consultant. Sedangkan aku? Aku hanya gadis blangsak, yang hidup dipinggiran kota. Rumah pun masih tahap kredit selama dua puluh tahun. Pekerjaan tidak tetap. Hanya serabutan.

Namun, kalian tahu apa yang membuatku semakin merasa putus asa dari kisah ini?

Baru tadi malam kami berkomunikasi kembali. Aku menunggu berhari-hari, demi mendengar hasil pendapat keluarganya tentangku. Ia menunda berkali-kali untuk menyampaikan, dengan maksud ingin waktu yang benar-benar longgar agar bisa saling bercerita.

Mas Randy

Lihat selengkapnya