Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #10

Sembilan

Jakarta, Desember 2019.

Terkisah seorang petarung tangguh. Ia memiliki seribu kekuatan lebih untuk menumbangkan lawan-lawannya. Suatu hari, saat ia lengah, seekor semut datang menghampiri dengan begitu manis, dan mengajak si petarung berbicara hingga terlena. Waktu berlalu begitu cepat, hingga sang petarung tertidur pulas. Ia lupa dengan semuanya, termasuk dengan karung gula yang sedang ia bawa. Akhirnya, ketika terbangun, ia menyadari telah kehilangan banyak gula, meskipun tidak semuanya. Ia sangat panik, dan didengarnya dari arah seberang sungai ada suara samar memanggilnya. Ternyata si semut itu. Ia berkata, “Hei petarung, kau mungkin tangguh dalam menghadapi lawanmu yang nyata. Tapi ketahuilah, kau tidak akan bisa menangkapku. Karena yang nyata dari kita sekarang adalah jarak yang terbentang jauh. Dan kau perlu waktu banyak untuk menyusulku kesini. Lebih baik kau lupakan saja aku. Daripada kau dapati dirimu terluka, karena memutuskan untuk mengejarku dan membuang waktumu dengan sia-sia. Kita tidak akan pernah bertemu”. [Aystella Story]

Sina memberikan beberapa buku dongeng kepada Hanafira. Kumpulan cerita ringan penuh makna, yang ditulis oleh seseorang bernama Aystella. Menurutnya, tulisan perempuan itu sedikit mampu membuat Sina memiliki sudut pandang berbeda akan sesuatu. Wajar, ketika ia marah dan tidak puas dengan beberapa hal, dia akan mengurung diri di ruang kerjanya, lalu memilih buku yang tepat untuk dibaca.

Pertemuan Sina dan Hanafira hari ini cukup dramatis. Kerapuhan seorang Hanafira sangat tersampaikan kepada Sina. Jika dilihat dari sudut pandang orang biasa, apa yang Hanafira lakukan hanyalah kebodohan yang mewarnai hidupnya, dan ia bisa belajar dari hal itu. Namun dimata Sina, apa yang dilakukan Hanafira adalah suatu hal kecil yang memiliki dampak besar bagi kejiwaannya. Dimatanya, Hanafira harus segera dibangunkan dari mimpinya sebagai itik buruk rupa yang bermimpi menjadi seekor burung merak. Ia harus diajari menghadapi kenyataan, sepahit apapun itu. Cara didik keluarganya tidak salah, hanya saja, penerimaan yang di visualisasikan dalam bentuk seorang Hanafira cukup menggambarkan, bahwa keluarganya tidak cukup tangguh memberikan bekal gadis ini menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya tidak selalu manis.

“Wah, semua buku ada tanda tangan penulisnya. Kamu pasti selalu ikut fansignnya ya, Sin?” Hanafira merespon dengan begitu polos. Ia duduk disofa sembari membaca satu per satu buku yang diberikan Sina.

“Enggak. Aystella itu temen gue.” Hanafira semakin terpukau saat mendengar hal itu. Sina terlihat sibuk. Ia mengambilkan segelas air putih hangat dan tas kecil berisi perlengkapan mandi.

“Nih. Lo minum dulu, setelah itu lo bersih-bersih diri. Lo boleh tinggal disini selama apapun lo mau. Lo juga boleh gunakan semua fasilitas disini kecuali dua, kamar utama milik gue dan ruang kerja gue. Dua tempat itu adalah pengecualian.”

“Sebenarnya…”

Hanafira menghentikan laju bacanya, dan menatap Sina. Ia ragu untuk mengatakan sesuatu. Dia sedang mencoba merangkai kata demi menyampaikan maksudnya.

“Sebenarnya?”

“Sebenarnya, aku tidak cukup mengerti dengan panggilan client interview yang dikirimkan Forty Seconds kepadaku tempo hari. Aku datang kesini hanya ingin melihat Mas Randy. Aku menggunakan undangan kalian sebagai alasan ijin dengan orang tuaku.”

Sina tersenyum. “Bagus dong! Artinya, kami sudah memenuhi keinginanmu, dan giliran kamu memenuhi keinginan kami. Give, and take!

Hanafira mendongak sedikit. Menatap Sina yang masih berdiri, lalu duduk. Sejujurnya, dengan semua ketakutan dan rasa insecure yang dimiliki Hanafira, membuatnya berpikir untuk menyudahi kegiatannya di Jakarta dan kembali ke Banjarmasin keesokan harinya. Dia pun merasa sudah membuang banyak uang selagi stay dengan tujuan konyol di kota yang semuanya serba mahal. Satu-satunya petunjuk yang ia punya tentang Randy hanyalah seminar tadi siang. Ketika hal itu berakhir, dia sendiri tidak tahu harus mencari lelaki itu kemana.

“Sepertinya Asisten gue tidak mengatakan banyak hal kepada lo.”

Gadis itu menggeleng samar. Ia hanya menerima perjanjian temu dengan Sina, lalu pergi ke Jakarta karena semua biaya transportasi ditanggung oleh pihak Forty Seconds.

“Lo cukup stay disini, dan lakukan semua yang lo mau, Fir. Tentang uang, lo bakal terima uang dari kami setelah kegiatan ini berakhir. Anggap saja, lo seperti sedang terlibat sebuah projek dan lo dikontrak sementara waktu untuk menyelesaikan ini.”

Sina tidak mau berbicara banyak tentang hal ini. Hasil observasi pertamanya tentang sosok Hanafira, perlu ia diskusikan terlebih dahulu dengan Agita. Ia kemudian memberikan sebuah e-money card dan beberapa lembar uang tunai untuk Hanafira. Sina meminta gadis itu memperbaiki penampilannya dan membeli beberapa hal yang ia inginkan selama berada di kota ini.

“Ini bukan sogokan. Gue kasih ini bukan sebagai perwakilan Forty Seconds. Bukan pula sebagai Psikolog. Tapi sebagai seorang Sina.” Tegas Sina. Ia melihat Hanafira ragu pula untuk menerima pemberiannya. Sama seperti tingkah penolakan yang ia tunjukkan ketika Sina memberikan salah satu koleksi pisau lipatnya tadi siang.

“Kenapa kamu begitu baik sama aku, Sin?” Hanafira melontarkan pertanyaan, tapi ditelinga Sina terdengar seperti sebuah kecurigaan. “Padahal, kita baru saja bertemu tadi siang.”

“Hmmmm…apa ya? Mungkin seperti yang pernah gue bilang sama seseorang, cuma orang yang menderita yang paham dengan penderitaan sesamanya. Hahaha!” Percayalah, Sina berkata demikian, membuat Hanafira berpikir perempuan ini memiliki sisi kepribadian yang berbeda dari imej yang selama ini ia bangun didepan publik. Tawa yang ia perlihatkan terkesan seperti sebuah pertahanan yang dibangun paksa, untuk menutupi sesuatu yang begitu sedih dan menyakitkan.

“Udah ah, udah malam. Saatnya istirahat. Gue besok ada beberapa agenda. Maklum, asisten gue lagi cuti, jadi musti agak disiplin sendiri.” Sina beranjak dari sofa, dan berjalan menuju kamarnya. Hanafira masih lekat melihatnya, lalu mengambil beberapa buku dongeng untuk dibawa ke kamar tidur tamu yang sudah ditunjukkan Sina.

****

Tengah malam menjelang, namun Hanafira belum tidur. Dia masih memilih terjaga dengan penerangan seadanya dari lampu tidur. Kacamata baca masih terpasang dan ia masih larut dalam kisah demi kisah yang disuguhkan dongeng itu. Sungguh candu dibuatnya. Selain itu, fasilitas Apartemen Sina yang jauh lebih mewah dibanding hotel bintang lima, cukup membuat Hanafira terkesan hingga sulit tidur. Sesekali, ia membayangkan bagaimana rasanya memiliki kekayaan seperti Sina tanpa kesulitan memikirkan uang, pasti sangat plong hidupnya.

Tepat pukul 00.37 WIB, listrik apartemen ini padam. Tak lama kemudian, suara kencang terdengar dari kamar utama. Suara dari teriakan seorang perempuan yang memecahkan sesuatu. Sangat keras, hingga terdengar lumayan jelas ditelinga Hanafira. Gadis ini menutup buku, melepas kacamata baca, dan memasang hijab instannya lalu berjalan setengah berlari, memastikan kondisi kamar utama dengan membawa penerangan dari ponsel. Benar saja, ia mendapati pecahan kaca dari gelas yang berserakan dilantai. Juga pecahan lampu tidur yang menghantam pintu lemari sisi sebelah kanan. Ia melihat Sina berteriak hebat mengepal keras sela-sela rambutnya yang terurai. Menyadari seseorang masuk ke kamarnya, Sina spontan menyodorkan sebuah pistol ke arah Hanafira.

“Keluaaaaarrrr!!!” Sina meraung hebat. Kondisi kamarnya yang gelap, juga setengah kesadaran yang belum pulih karena terbangun dari tidur, membuat Sina tidak ingat kalau di Apartemennya sekarang ia tinggal bersama seseorang.

“Aku Fira, Sin.” Hanafira yang terperanjat dengan teriakan Sina, seketika mengangkat tangan, sembari mencoba berbicara pelan dengan Sina. “Kamu lupa? Aku tamu baru di Apartemenmu”, jelas Hanafira lebih lanjut.

Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut Sina. Ia terdiam, dengan posisi kedua tangan gemetarnya masih menyodorkan pistol ke arah Hanafira. Nafasnya sungguh sesak, tubuhnya pun banjir keringat. Hanafira mencoba melangkah, mendekat ke arah Sina yang tampak perlahan menurunkan arah pistolnya.

“Fi…Fira?” Sina menyadarkan diri. Ia membiarkan Hanafira mendekat dan memegangi dahinya yang terasa hangat. Selang beberapa detik, Sina kemudian melepaskan pistolnya dan memeluk tubuh Hanafira dengan erat. Sangat erat. Tubuhnya bergetar hebat. Tangis yang selama ini tertahan, akhirnya pecah. Tidak banyak yang tahu kondisi Sina dari sisi dirinya yang lain, sebab selama ini ia tinggal sendirian. Berbagi apartemen dengan seseorang, baru kali ini ia lakukan, dan ia belum terbiasa.

Setiap kali tempat tinggalnya mengalami pemadaman listrik yang mendadak, ia didera rasa ketakutan yang luar biasa. Telinganya mendengar jelas suara sayatan, juga langkah kaki beberapa orang mendatanginya dengan begitu cepat. Begitu pula dengan jelas ia mendengar tangisan ketakutan, amarah dan kesakitan yang luar biasa dari balik lemari, yang sebenarnya semuanya itu dihasilkan dari halusinasi akibat trauma masa lalu yang belum usai.

Hanafira memeluk erat Sina, menepuk punggungnya pelan. Psikolog itu menangis dan perlahan reda, juga kembali tertidur. Baru saja Hanafira menebak sisi nyaman dari sosok Sina yang memiliki segalanya, sekarang, ia merasakan bahwa hidup itu tidak ada yang sempurna. Hal yang harus digaris bawahi dari ini adalah bahwa Psikolog juga manusia. Hanafira tidak cukup yakin dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, melihat Sina tidur dengan membawa serta sebuah pistol, ia menjadi tahu, bahwa ada hal-hal menakutkan yang begitu menghantuinya sejauh ini. Terbiasa hidup sendiri, semakin membuat ia lekat berteman dengan banyak benda mati yang ia beri sugesti berbeda pada setiap waktunya. Begitulah Sina dimata Hanafira untuk sekarang.

Lihat selengkapnya