Jakarta, Desember 2019
Sudah dua hari berlalu, dan aku masih saja merasa sangat tidak aman. Perasaan yang muncul sejak pertemuan dengan perwakilan keluarga Pamela, sungguh sangat mengganggu. Sudah dua hari pula aku dibuat sangat tidak fokus, padahal banyak sekali pekerjaan yang harus ku selesaikan.
“Pantesan. Gue cariin lo kemana-mana, tau taunya disini.” Agita memberikanku segelas cappucino hot yang ia beli dari restoran cepat saji seberang kantor. Ia menemukanku sedang duduk termenung pada taman yang terletak dipuncak gedung kantor. Ada sebuah ayunan dari besi yang ditata menghadap pemandangan kota Jakarta yang padat, dan kami duduk diatasnya. Pada sisinya terlihat beberapa pasang meja dan kursi, yang juga sering digunakan karyawan gedung ini untuk sejenak mengobrol santai dengan rekan maupun koleganya.
“Lo kenapa, Sin? Gak biasanya lo damai, aman, sentosa, dan gak bawel”, Agita memperhatikan raut wajahku, yang sama sekali tidak bereaksi apapun atas pernyataannya barusan. “Lo sakit, Sin?” lanjutnya, memastikan. Aku menggeleng samar, dengan masih mengernyitkan dahi. “Lalu?” Ia masih mendesak, menuntut cerita lebih atas semua hal yang ia lewatkan selama masa cuti berjalan kemarin. “Wah, sepertinya banyak sekali hal yang terjadi selama gue cuti. Ini benar-benar first time gue liat lo uring-uringan, Sin.”
Aku menyeruput kopi yang disuguhkan Agita, lalu mengalihkan pandangan kepadanya. “Git, lo pernah gak dilanda rasa cemas yang luar biasa, tapi lo gak tau itu apa. Semacam firasat, tapi lo gak tau itu benar apa salah.”
“Pernah. Dulu waktu SMA sering malah. Tapi bukan sesuatu yang besar kok. Cuma kayak firasat bakal dapat rangking kelas sekian, bakal diputusin pacar begini. Gitu aja.” Jelasnya dengan jujur. “Emang lo lagi cemas, Sin?”
“Iya, Git.”
“Bukannya lo emang selalu cemas setiap hari? Everyday, everytime.” Alih-alih seperti menjawab, Agita terdengar seperti setengah mengolok.
“Bukan, Git. Ini tidak seperti kecemasanku setiap harinya. Lebih kepada sesuatu yang menjadi pertanda, tapi gue gak tahu itu apa.”
“Déjà vu, bukan?”
Aku menggeleng, “bukan, Git”.
Agita terlihat bingung, dan mencoba berkali-kali memberikan gambaran, namun tidak berhasil. Perasaan ini sulit dijelaskan. Rasanya seperti berada pada sebuah keadaan dimana aku -mungkin- tidak akan bisa merasa aman lagi, hanya dengan sebilah pisau dan sebuah pistol. Ya, lebih dari itu. Percakapan itu beralih ketika Agita menyuguhkan tiga berkas yang ku minta tadi pagi dengannya.
“Nih, gue bawain yang lo minta. Btw, itu si Hanafira bener-bener lo ajak tinggal bareng di Apartemen?” Aku mengingat kembali tingkah syok yang Agita tunjukkan saat pagi tadi mampir sebentar di kediamanku. Ia benar-benar penasaran dengan cerita-cerita yang tidak ingin ku ceritakan melalui Whatsapp, hingga memutuskan untuk berangkat bersama dengan titik start dari Apartemenku.
“Yap. Gue pikir, itu langkah awal yang baik. Lagian gue kasih dia fasilitas, bukan atas nama Forty Seconds kok. Itu murni dari seorang Sina.”
“Tapi dengan lo kasih semua fasilitas Apartemen, uang tunai, e-money, dan mobil beserta supir, apa itu gak berlebihan?”
“Ya enggak lah. Lagian, mobil kan bukan dia yang bawa. Masih ada pak Asep. Lo tenang aja. Itu mobil juga buat nganter dia beli keperluan sehari-hari aja kok. Gak lebih.”
“Kasih gue alasan yang masuk akal, Sin. Dia itu udah di fasilitasi sama Forty Seconds biaya transportasi dan akomodasi selama yang ia mau disini. Jadi secara keuangan, dia cukup terjamin.”
“Hmm…sederhana sih. Hanya orang yang menderita yang mengerti penderitaan sesamanya. Pepatah itu ada benarnya juga. Entah kenapa, melihat Fira seperti itu, hati gue juga ikut patah.”
“Tapi konsep dari Forty Seconds Project ini kan gak gitu, Sin.”
“Ayo kita ubah konsepnya, Git.”
Agita seketika melongo. Ia harusnya tahu, bahwa temannya ini adalah orang yang senang mengubah sesuatu sesuai mood swingnya. Dan kali ini, Agita tidak menyangka, konsep Forty Seconds Project akan menjadi sasarannya juga.
“Diubah gimana maksud lo?”
Aku bercerita tentang kejadian malam itu, dimana pemadaman listrik sering terjadi di Apartemenku. Aku juga menceritakan bagaimana rasanya menggila dalam kegelapan. Sesak, sakit, ngilu, marah dan gelisah, semuanya menyatu tanpa tapi. Tidak luput juga tentang kebiasaanku tidur dengan sebuah pistol dibawah bantal, dan sebilah pisau pada laci nakas disamping tempat tidur.
“Tapi malam itu, Fira terjaga semalaman hanya untuk membuat gue gak merasa ketakutan”, jelasku dengan menatap Agita sendu, “lo tahu, sejak semua kejadian dimasa lalu, gue memutuskan untuk tidak pernah lagi tinggal dengan orang lain, karena takut semuanya akan kembali hilang dan gue kembali sendirian. Tapi, dengan kejadian malam itu, gue sedikit sadar, bahwa yang gue butuhin itu bukan pisau maupun pistol, tapi teman.”
Kali ini Agita tidak lagi terlihat ingin membantah. Ia sejenak terdiam, dan meminum minumannya yang sudah tidak lagi dingin.
“Lo tahu, Git? Perlahan gue bisa mengerti Fira. Gue dan dia seperti dua sisi mata uang.”
“Alasannya?”
“Gue pernah memiliki sebuah kebahagiaan, yang kemudian semua itu hilang. Namun Fira, ia bahkan harus kehilangan tanpa sempat memiliki. Dia adalah visualisasi dari konsep hati yang tangguh dengan pembawaan yang rapuh. Dari luar, ia sangat terlihat tidak baik-baik saja, tapi hatinya justru lebih tangguh. Sedangkan gue sebaliknya, Git. Selama ini, gue membangun karakter kuat sebagai pertahanan seorang Sina. Namun, siapa yang sangka, jika gue pun hampir menyerah dibuatnya karena memiliki hati yang lemah.”
Agita menghela nafas. Aku yakin, sebagai seseorang yang tinggal disisiku lebih lama dari yang lain, ia lebih mengerti semua yang ku jelaskan tanpa harus ku jabarkan lebih jauh. Perempuan ini keras, namun hatinya lembut. Dibalik semua sifat yang ia tunjukkan, ia selalu menginginkan yang terbaik untuk kesembuhanku. Hari ini, aku melihat tatapan yang berbeda dari matanya. Untuk pertama kalinya ia tidak mampu lagi menahan rasa sedihnya karena melihat kondisiku seperti ini. Agita lantas memelukku dan berkata, “maaf, Sin. Karena gue masih belum bisa jadi teman yang membuat lo merasa aman.”
Aku menggeleng, tidak membenarkan perkataannya, “enggak, Git. Lo gak salah. Gue yang selama ini justru secara gak sadar, memaksa lo untuk mengerti semua penderitaan gue. Gue minta maaf.” Air mataku jatuh. Aku sesegukan dibuatnya, begitu pun dengan Agita. Kalian tahu? Berada dipuncak itu melelahkan. Siapa bilang menjadi public figur itu menyenangkan? Terkadang, kamu tidak bisa hidup berdampingan dengan sembarang orang, padahal kamu tidak pernah masalah dengan hal itu. Begitu pun dengan transformasi paksa seorang Ekstrovert menjadi Introvert. Siapa bilang dengan menjadi pribadi yang tertutup, kamu tidak memerlukan teman? Rasanya seperti ada yang mengikat lehermu dengan begitu kencang. Kamu ingin berteriak tapi tak kuasa, karena tidak ada satu pun yang mau mendengarkanmu dari balik ruang yang gelap.
Seorang Agita mampu menjadi temanku hingga sejauh ini, itu sudah luar biasa. Aku ingat bagaimana ia dengan sabar dan telaten menghadapi seorang Sina yang dulu sering hilang kendali. Aku bahkan hampir membunuh orang-orang yang menggangguku dan juga Agita berkali-kali, namun ia selalu datang sebagai teman yang luar biasa. Ia juga yang memberikan pandangan berbeda tentang Harvard University waktu itu. Aku ingat betul bagaimana ia meyakinkanku, bahwa menang tidak selalu tentang memiliki apa yang juga orang lain perjuangkan, tapi menang, adalah ketika kamu mampu memberikan keinginanmu pada seseorang yang benar-benar membutuhkan. Itulah awal cerita, mengapa akhirnya Cambridge University menjadi pilihan yang ku jatuhkan, lalu memberikan kesempatan Harvard University untuk sosok Pamela yang terlihat lebih membutuhkan.
“Mari kita ubah konsep, Sin. Gue ngerti. Lo pasti mau ini bukan lagi tentang klien dan Psikolog, tapi tentang membangun konsep kekeluargaan bersama mereka. Ya kan?” Agita tiba-tiba menyimpulkan. Kali ini, lagi-lagi kesimpulannya benar. Ia tahu bahwa aku ingin menjadikan project ini bukan untuk kepentingan pribadi lagi, tapi juga bersama. Together, we can do that. Aku mengangguk setuju.