Jakarta, Desember 2019.
“Hei, Sina cantik!” Erwin berteriak histeris melihat kemunculan Sina yang menjemput mereka di lobi kantor. Sina dengan wajah datar, juga dengan senyum tipisnya, melambai ke arah Erwin yang terlihat menarik Randy mendekati mereka.
“Cepet juga lo nyampe kantor gue.”
“Ya dong. Gue udah gak sabar pengen liat wujudnya Forty Seconds dari dekat.”
“Oh ya, Win, kenalin, ini Agita. Asisten yang menangani event akhir tahun. Agita, kenalin, ini Erwin. EO yang gue bilang tadi.” Sina saling memperkenalkan Erwin dan Agita yang pertama kali bertemu ditempat itu.
“Hallo, gue Erwin.”
“Gue Agita.”
Setelah Erwin berjabat tangan dengan Agita, giliran Erwin memperkenalkan Randy kepada mereka.
“Nah Sina, Agita, kenalin ini Randy. Keynote Speaker acara seminar tempo hari.”
“Hai, gue Sina.”
“Agita.”
“Gue Randy. Randy Suparmanto.”
Mendengar nama lengkap Randy disebut, Sina hampir melepas tawa ejekan.
“Nama lo unik juga yak. Blasteran Jerman-Jowo gitu.” Sina berkata dengan kebiasaan nyablaknya yang khas. Suasana seketika mencair ketika semua yang mendengar hal itu tertawa. Randy pun tidak merasa keberatan dengan candaan Sina, meskipun itu memang fakta.
“Udah ah. Yuk masuk.” Semuanya lantas digiring Sina untuk ikut menuju lantai dua puluh empat, tempat dimana pusat Forty Seconds berada. Gedung perkantoran ini memiliki tinggi tiga puluh tiga lantai. Jika gedung pada umumnya dimiliki oleh beberapa perusahaan, maka gedung ini hanya dimiliki oleh dua perusahaan. Pertama dimiliki oleh perusahaan yang menjalankan bisnis Restoran mewah yang terletak pada sepuluh lantai pertama, dan sisanya akuisisi oleh Forty Seconds sejak dua tahun silam.
Harta peninggalan orang tua, ditambah dengan investasi-investasi keuangan yang Sina geluti semasa kuliahnya, juga dukungan dana dari beberapa investor, cukup masuk akal untuk menjadikan Sina berhasil membuat Forty Seconds sekokoh ini. Apalagi semenjak pemberitaan penangkapan pelaku pembunuhan kedua orang tuanya, saat itulah Sina pertama kali muncul ke publik selaku salah satu korban yang berhasil selamat. Dari sana pula, nama Amaliya Marsina Yusuf lambat laun melambung ke permukaan, dan menjadi salah satu public figure yang disegani banyak orang. Sebagai seorang Sina. Juga sebagai seorang Psikolog.
“Ini ruang kontrol. Semua karyawan disini adalah Mahasiswa Psikologi yang mau bekerja part-time melayani klien secara virtual. Semua fasilitas disediakan dengan friendly dan sangat menunjang kenyamanan mereka dalam bekerja. Memang di set supaya terkesan seperti tidak sedang bekerja. Mulai dari meja kerja, ruang santai, sampai persediaan makanan sehat yang berlimpah.” Jelas Sina yang masih bangga mengajak Randy mengenal Forty Seconds secara lebih dekat. Sedangkan beberapa menit yang lalu, Erwin dan Agita memutuskan untuk berhenti sejenak pada kantin kantor untuk saling mengobrol banyak tentang konsep event akhir tahun dari Forty Seconds.
“Gue denger, lo bangun ini semua dalam waktu dua tahun. Kok bisa pesat gini sih perkembangannya, Sin?”
“Sebenarnya tujuan utamanya bukan untuk jadi sebesar sekarang, Ran. Gue udah cukup punya segalanya, dan penghasilan besar dari ini bukan keinginan gue. Ini semua cuma bonus.”
“Terus tujuan utamanya apa?”
“Gue pengen aja setiap orang dimuka bumi ini tidak merasa sendirian.”
Randy cukup terpukau dengan jawaban Sina barusan. Ia melihat Sina yang masih memacu langkah berdampingan dengannya.
“Percaya atau tidak, setiap empat puluh detik satu orang memutuskan untuk bunuh diri setiap harinya,” Sina mengajak Randy berhenti dan duduk pada salah satu sudut kantor yang menjadi favorit karyawan, yakni kolam renang dengan tempat santai berbentuk bundar ditengahnya, “dan kesalahan terbesar dari lingkungannya adalah tidak peka terhadap tanda-tanda depresi yang mereka tunjukkan.” Lanjut Sina.
Ia duduk dengan menyilangkan kedua kaki, juga tangannya. Tatapannya terfokus pada satu titik didepannya. Sedangkan Randy masih antusias ingin mendengar penjabaran Sina lebih jauh.
“Suatu hari, gue berkhayal, andai saja ada layanan yang sangat mudah diakses oleh mereka untuk bisa konsultasi dengan leluasa, tanpa merasa terbebani dengan biaya maupun privasi yang takut bocor. Mereka bisa dilayani oleh profesional dibidangnya, tanpa memandang status kasta dan harta. Mungkin, kita bisa menyelamatkan banyak nyawa juga setiap empat puluh detiknya.”
Randy tampak semakin tertarik. Ia menggulung lengan baju panjangnya beberapa lipat, lalu menyandarkan punggungnya dengan santai pada dinding kokoh dibelakangnya, kemudian bertanya, “lalu, jika konsep Forty Seconds seloyal itu, darimana lo dapat pemasukan untuk membayar sewa gedung sebesar ini, juga menggaji karyawan lo yang jumlahnya ratusan itu?”
“Gak tahu yah. Gue juga gak ngerti. Support System gue benar-benar ajib, Ran. Kami gak pernah sekali pun memungut bayaran atas layanan konsultasi konsumen, tapi penghasilan perusahaan ini semakin kesini semakin meningkat. Gue selaku founder hanya mengatur konsep dasarnya. Selanjutnya, tim gue benar-benar mengembangkannya, seolah mereka seperti merawat tanaman mereka sendiri. Investor dalam dan luar negeri silih berganti melakukan penawaran. Job gue sebagai seorang Sina pun gak kalah padatnya. Mulai dari tawaran iklan, model, sampai tawaran main film. Coba aja gue bisa nyanyi, mungkin sekarang gue juga ditawarin bikin album kayaknya, hahaha.”
Mereka berdua tertawa dan melupakan bagian dimana mereka sebenarnya baru kurang dari satu jam bertemu. “Rejeki lo luar biasa, Sin. Gue selama ini cuma kenal nama lo sekilas aja, karena memang gue fokusnya di bisnis, jadi sorotan gue setiap harinya ya terhadap perkembangan ekonomi dan bisnis negara ini.”
“Ya wajar sih. Orang yang terlahir dengan ketertarikan dalam dunia bisnis, memang cenderung fokus hanya pada satu jalur yang ingin mereka geluti. Gue punya beberapa teman, gitu semua cara pikirnya.”
“Terus, kalo boleh tahu, kenapa nama platform lo Forty Seconds?” Randy kembali mengarahkan topik pembicaraan yang belum selesai. Sekarang hatinya benar-benar membuncah, sangat ingin mengetahui lebih jauh tentang perusahaan ini. Khususnya juga tentang sosok Sina yang ia nilai sangat menarik.
“Hmmm, simpel sih, Ran. Forty Seconds itu kan artinya empat puluh detik. Seperti yang gue bilang sebelumnya. Jika dalam empat puluh detik satu orang mampu memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri, gue pengen platform ini dapat mengubah pula keputusan seseorang dalam empat puluh detik, untuk bisa lebih sayang dengan dirinya sendiri,” Sina menjelaskan kepada Randy dengan gaya bicara yang semakin santai dan terdengar lega. Ia kemudian bilang, “yang diperlukan seorang manusia ketika dirundung masalah, bukan ceramah dan sebangsanya, Ran, tapi sepasang telinga yang siap mendengar dan sebuah pelukan hangat yang siap merangkulnya kapan pun ia perlu.”
“Tapi kan curhat secara virtual, bikin kalian gak bisa memeluk klien secara langsung kan, Sin?”
“Bisa, Ran.”
Randy melongo dibuatnya. Media virtual tidak akan pernah bisa membuat seseorang dapat memeluk seorang lainnya secara langsung. Namun, jawaban Sina barusan membuatnya sangat tidak percaya, “caranya?”