Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #13

Dua Belas

Jakarta, Desember 2019.

Hari ini, Pamela tepat berada didepanku.

Aku masih belum memutuskan untuk menentukan sikap seperti apa yang ingin ku tunjukkan, ketika suatu hari kami berjumpa. Namun ternyata, takdir hari ini benar-benar menyeretku masuk dalam pusaran kisah dari orang-orang yang berada dimasa laluku, lebih cepat dari perkiraan.

“Sina?”

Perempuan itu mengenaliku dengan cepat. Ia melambai dan tersenyum, lalu berjalan mendekatiku yang masih terpaku menatapnya. Aku tersenyum hambar seadanya. Gadis itu mengenakan setelan dress pendek yang benar-benar membuatnya terlihat ramping. Wajah cantiknya tidak banyak berubah. Hanya saja, sekarang dia terlihat lebih kurus dan tirus. Rambutnya yang terlihat sedikit basah, cukup meyakinkanku kalau cuaca diluar sedang hujan.

“Iya. Lo sama siapa kesini?”

“Nih. Cowok gue.”

Aku menatap arah yang ia tunjuk, lalu tersenyum tipis. Pamela menyapaku dengan ramah, juga menyuguhkan tangan kanannya untuk saling berjabat tangan. Benar-benar diluar dugaan.

“Lo ngapain disini, Sin? Sama cowok lo juga?”

Aku menggeleng samar, “Enggak, Mel. Gue baru selesai ketemu klien”, lalu memperhatikan gerak gerik Pamela secara lebih detil, “lo mau dinner di restoran, Mel?”

“Iya nih. Dia hari ini ulang tahun.” Melihat Pamela muncul dengan karakter yang sedikit berbeda seperti ini, sungguh diluar ekspektasiku. Raut wajahnya begitu terlihat bahagia dan tidak seperti seorang pengidap Skizofrenia.

“Wah, Selamat ulang tahun yah. Namanya siapa, Mel?”

“Adit. Aditya Pamungkas.” Ucap Pamela memperkenalkan sosok kekasih yang ia perlihatkan kepadaku. Dengan suasana hati Pamela yang demikian, aku mengambil kesempatan untuk membuat janji temu tidak sengaja dengannya.

“Mel, kalau nanti ada waktu, boleh dong ngopi bareng gue.” Tawarku kepadanya dengan ajakan santai.

“Kenapa? Lo kangen yah berantem sama gue?” Pamela terlihat sedikit gengsi, namun ia tidak menolak ajakanku. Kami berhasil saling bertukar nomor ponsel, untuk memudahkan komunikasi.

Gadis itu berlalu meninggalkanku yang masih digerogoti perasaan aneh luar biasa. Mungkin saja, ini disebabkan pertemuan tanpa rencana yang sulit ku prediksi. Ditambah lagi, orang itu adalah Pamela. Aku masih menatapnya dari kejauhan. Ku lihat, Pamela berjalan masuk ke dalam lift, lalu menghilang dibalik pintunya yang tertutup. Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba menata pikiranku yang -sedikit- kacau.

Agitaku panggilan masuk…

“Yes, kenapa Git?”

“Lo dimana?”

“Gue di lobi bawah. Barusan nganter Randy sama Erwin. Kenapa?”

“Lo tunggu disitu. Gue nyusul.”

Tanpa sempat aku berkata, Agita telah lebih dahulu menutup sambungan teleponnya. Suaranya terdengar tidak biasa. Aku bisa merasakan sebuah kepanikan sekaligus kebingungan dari nada bicaranya. Tidak lama kemudian, Agita muncul dengan membawa serta tas kecilku dan juga kunci mobil.

“Gawat, Sin!” Agita menarik tanganku, dan menggiring untuk mengikuti langkahnya berjalan menuju parkiran mobil.

“Kenapa, Git?”

“Gue baru dapat kabar dari Nilam, yang memantau rapor hariannya Risa, klien lo itu masuk rumah sakit.” Agita menjelaskan dengan nada yang begitu panik. Tanpa bicara banyak, mendengar hal itu, aku langsung meraih kunci mobilku yang Agita pegang. Kami segera menuju rumah sakit yang dimaksud dalam waktu kurang lebih satu jam.

****

Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Perasaanku sama sekali tidak karuan. Sepanjang perjalanan, mendengarkan cerita Agita dari informasi yang Nilam sampaikan, rasa bersalah, menyesal, marah dan sedih menyatu dalam hatiku. Risa ditemukan berlumuran darah di kamar hotelnya akibat sebilah pisau. Tidak ada hal lain yang disampaikan pihak hotel, selain adanya tamu yang mengunjunginya beberapa jam yang lalu. Aku merasa marah, karena melewatkan beberapa hal tentang Risa, utamanya tentang detil hutang piutang keluarganya.

Sesampainya dirumah sakit, ku dapati Nilam duduk di kursi tunggu depan pintu ruang operasi. Ia seketika berdiri melihat kedatanganku dan Agita yang berjalan menujunya.

“Sina…maafkan aku.”

Nilam menunjukkan perasaan bersalahnya dan ku tepuk punggungnya pelan, “gak apa-apa, Nil. Ini bukan salah lo. Kita harus cari tahu detilnya.”

“Risa sekarang dimana?” Tanya Agita, menyela pembicaraan kami.

“Dia sedang dioperasi, Git. Dia kehilangan cukup banyak darah. Ada sayatan dipergelangan tangan dan lehernya, Sin…”

Setelahnya, Nilam menangis dalam pelukanku. Ia benar-benar merasa bersalah karena tidak memantau Risa dengan baik. Bahkan setelah ia menyadari tidak menerima kabar dari Risa sejak pagi, ia masih santai menyantap sarapan dan makan siang dengan baik. Aku mengerti rasa bersalah Nilam. Begitu pun yang saat ini ku rasakan. Tanggung jawab besarku terhadap semua pekerjaan ini, membuat rasa bersalahku lebih besar dari yang Nilam dera.

Kami bertiga duduk pada ruang tunggu, sedikit menjauh dari ruang operasi. Nilam bercerita bahwa ia sempat menerima telepon dari Risa tadi malam. Gadis itu mengatakan banyak hal, terutama tentang keinginannya memainkan piano seperti yang Agita sampaikan sebelumnya. Nilam juga mendengar Risa berbagi kisah tentang sosok lelaki yang ia nilai telah merusak hidupnya, hingga menjadi seperti sekarang.

“Namanya Yogi.”

“Yogi? Gue gak pernah denger nama ini sebelumnya.” Aku mencoba mengingat kembali profil tentang Risa. Nilam membantuku dengan memberikan beberapa laporan tentang perkembangan kondisi Risa, dan aku sungguh yakin, tidak pernah mendengar nama lelaki ini sebelumnya. Aku ingat Risa pernah berkata, bahwa dia memang belum ingin mati sebelumnya menemukan seseorang yang sering ia sebut dengan kata ganti dia.

Risa memiliki keinginan besar untuk bunuh diri setelah kehidupan sempurnanya sebagai anak baik dan berprestasi, langsung runtuh akibat terlilit hutang piutang yang begitu besar dengan orang-orang sekitarnya yang telah memberikan kepercayaan penuh. Semua keadaan itu tercipta setelah tertipu habis-habisan oleh seseorang yang ia cintai sepenuh hati. Pengorbanan dan niat baiknya untuk membantu sang kekasih, berujung petaka yang membuatnya hilang kendali atas semua yang terjadi. Saat itulah, Risa sering berkata ingin mati. Sering mendambakan kematian. Selalu membayangkan cara mati yang tepat.

“Apa ada detil informasi tentang lelaki bernama Yogi?” Aku menanyai Nilam, meskipun ia masih dalam keadaan cemas. Dia menggeleng dan mengatakan tidak sempat membahas banyak hal tentang Yogi bersama Risa. Malam itu, melalui sambungan telepon, Nilam dapat merasakan perubahan suasana hati Risa saat nama Yogi disebut secara tak sengaja.

“Lo yakin gak ada satu hal pun yang mencurigakan?” Agita mencoba meyakinkan Nilam untuk mengingat kembali hal sekecil apapun yang bisa menjadi tanda. Namun Nilam tetap menggeleng. Ia benar-benar yakin Risa baik-baik saja, sebelum putus kontak dengannya sejak tadi pagi. Kami bertiga masih membicarakan topik serupa, hingga pukul 19.47 WIB. Beberapa menit berselang, dokter menyatakan operasi Risa berhasil dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku mencoba menenangkan diri dengan membeli secangkir kopi pada kantin rumah sakit, meninggalkan Agita yang ku minta mengurus administrasi rumah sakit dan Nilam yang ku minta pulang untuk mengganti pakaiannya yang kotor dengan bercak darah. Sejujurnya, aku hampir kehilangan tenaga. Sebab mendapati seseorang yang berada disekitarku terkapar berlumuran darah, membuatku selalu dirundung rasa takut yang sama. Bedanya, aku masih berdaya melakukan segala hal untuk bisa menyelamatkan nyawanya. Tidak seperti sosok Sina kecil yang hanya bisa berlari dengan egois untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Malam itu, aku mengevaluasi banyak hal. Merenungi sejenak langkah-langkah yang ku ambil, sudah tepat atau tidak, atau bahkan mungkin secara tidak sadar, aku telah menggiring orang lain berdiri di ujung jurang kematian. Beberapa hari ini, memang perhatianku tidak tertuju pada Risa seutuhnya. Usahaku untuk menyentuh kehidupan Hanafira dan Pamela, membuatku -mungkin saja- telah melalaikan beberapa hal. Aku membuka kembali laporan yang Nilam berikan. Lembar demi lembar ku pahami, hingga sampai pada titik dimana aku menemukan tulisan; tidak ada yang berbeda. Hanya saja, beberapa hari ini aku merasa aneh. Aku merasa beberapa orang melihatku. Mungkin karena aku tidak tampak seperti orang Jakarta kali ya, hahaha. Sesekali aku juga merindukan rumah, sampai berhalusinasi mendengar suara seseorang memanggilku. Tapi ternyata tidak ada. Tidak mungkin hantu, kan?

Beberapa orang sedang melihatnya? Aku terhenti pada poin itu. Aku mengerti rasanya, karena memang telah terbiasa dengan sorotan orang-orang karena statusku yang bukan sembarangan. Tapi Risa? Dia bukan public figure. Dia juga bukan seseorang yang memiliki banyak kenalan di Jakarta. Penampilannya juga masuk kategori normal untuk tidak terlalu menarik perhatian. Lalu, ketika ia merasa terawasi, ku pikir ini adalah tanda. Hingga beberapa orang mengunjunginya, juga menjadi tanda. Risa tinggal di penginapan, dimana Forty Seconds menyediakan semua fasilitasnya selama di Jakarta. Tidak sembarang orang mampu mengaksesnya, bahkan sekedar untuk bertanya.

“Kemungkinannya cuma dua…” aku mengernyitkan alisku, mencoba menyusun puzzle yang berantakan dan menemukan simpulan sementara, “pertama, Risa memang mengenalnya, atau kedua, mereka mengenal Risa sebagai seseorang yang mengenalku”.

****

Klien Hanafira

06.36 WIB

Sin, kamu gak pulang?

Satya

07.49 WIB

Lihat selengkapnya