Jakarta, Desember 2019.
“Kamu terlihat tidak sehat, Sin.” Hanafira melihat Sina ambruk, menenggelamkan wajahnya dibalik lipatan tangan di atas meja makan. Dengan cekatan, klien Sina ini mengambil alat pendeteksi suhu tubuh dan mendapati 39.6℃ muncul sebagai hasilnya. Benar, Sina sedang demam. Beberapa menit yang lalu, ia juga hampir ambruk di pintu masuk lobi Apartemen, namun dibantu security. Ia kemudian bersikeras mampu berjalan sendiri, dan meminta seseorang yang membantunya itu untuk pergi.
Setibanya di Hunian, Sina tidak bicara banyak. Dia melihat Hanafira sibuk dengan aktifitas dapurnya, karena ia tahu, kliennya ini begitu menyukai fasilitas dapur dari Apartemennya yang begitu mewah. Ia meminta segelas air putih, sebelum akhirnya ambruk seperti sekarang tanpa kata. Hanafira yang kebingungan, berniat menghubungi Agita namun diurungkannya. Seorang lelaki memencet bel apartemen dan segera ia mintai pertolongan.
“Sudah berapa lama dia begini?” Satya meraih tubuh Sina, lalu menggendongnya ke kamar utama ditemani Hanafira.
“Baru sekitar beberapa menit yang lalu, Mas.” Hanafira memperlihatkan hasil cek suhu tubuh Sina. Ia tidak mengenal lelaki ini, namun dilihat dari pergerakannya, Hanafira yakin, orang ini dekat dengan Sina.
“Boleh minta tolong ambilkan kompres? Pakai air hangat saja.” Satya agak panik. Meskipun seorang Psikiater, ia juga cukup tahu tentang ilmu kedokteran umum. Tak lama berselang, Hanafira kembali dengan sebuah baskom dan handuk kecil. Ia kemudian diminta Satya untuk sedikit melepaskan bagian pakaian Sina yang terlihat sesak, juga sepatu yang masih ia kenakan.
Keduanya kemudian terperanjat dengan suara pintu terbuka, yang ternyata Agita. Gadis itu datang membawakan beberapa data yang Sina minta. Mendapati kondisi Sina demikian, ia pun ikut kaget.
“Sina kenapa, Sat?”
“Aku juga gak tahu. Setibanya disini, kata dia, Sina sudah ambruk begini.”
“Ya ampun Sina. Jangan-jangan ini karena masalah kemarin.”
“Masalah kemarin?” Satya tiba-tiba penasaran.
“Iya, mbak. Ada apa kemarin?” Disusul tanya dari Hanafira.
Agita lupa. Sina memintanya untuk tidak bicara kepada siapa pun tentang Risa. Namun, kesalahannya barusan, membuat Agita tak kuasa menahan kekepoan dari Satya maupun Hanafira. Ketiganya kemudian berdiskusi diruang makan, meninggalkan Sina yang baru saja ditangani oleh perawat pribadi dari Forty Seconds, yang tiba sesaat setelah Satya selesai melakukan pertolongan pertama pada Sina.
Agita menceritakan semua yang terjadi pada Risa, dan meminta mereka berdua tidak terlalu ikut campur. Namun, baik Satya maupun Hanafira menolak. Mereka merasa memiliki andil untuk pasang badan pula, demi seorang Sina.
“Terus sekarang Risa di rumah sakit sama siapa?” Satya memastikan.
“Ada Nilam selaku penanggungjawab rapornya, juga beberapa orang dari Forty Seconds. Kunjungan buat Risa sudah dibatasi Sina, Sat. Sampai dia pulih.” Jelas Agita.
Hanafira tidak berkata banyak. Dia hanya mendengarkan percakapan mereka berdua, sembari menyiapkan minuman dan kudapan dari dapur Sina. Sedangkan Satya dan Agita terus bercakap. Asisten Sina itu bilang, ia tidak pernah melihat Sina sakit selama ia mendampingi perempuan itu dalam dua tahun terakhir. Sina selalu menutupi kejadian dalam hidupnya dengan perubahan mood yang signifikan berbeda.
Mendengar hal itu, Hanafira menimpali dengan perkataan, “aku pernah melihat Sina begini sebelumnya, Git”.
Keduanya lantas memandang Hanafira yang datang, lalu duduk dengan tiga gelas minuman dibawanya. Satya dan Agita disuguhkan masing-masing segelas orange squash dengan bolu selai nanas sebagai kudapan.
“Kapan itu, Fir?” Tanya Agita, tidak sabar.
“Pada malam setelah pertemuanku dengannya diseminar Randy. Hari itu hari pertama aku tidur di Apartemen ini, Git. Listrik seketika padam, dan aku dengar dia berteriak hebat dari kamarnya.”
“Oh gue tahu ini. Sina pernah cerita ke gue.”
“Nah, malam itu, Sina mengalami demam tinggi juga seperti sekarang, Git. Makanya aku terjaga hingga pagi.”
Giliran Satya menyimak percakapan Agita dan Hanafira.
“Kalau mendengar cerita kamu, tentang dia yang tidak pernah begini sebelumnya, juga jika dikaitkan dengan dua kejadian yang terjadi, sepertinya ada sesuatu serius yang sudah memancing emosinya tak terkendali”, Hanafira yang masih menduga, lantas menatap Agita dan bertanya, “apa Sina memiliki trauma masa lalu, Git?”
Percayalah, Hanafira sekarang sama sekali tidak terlihat seperti seorang klien, yang membutuhkan seorang Psikolog untuk mengendalikan emosi dalam dirinya. Ia pandai bergaul dan berbaur dengan orang yang baru ia kenal, utamanya dengan Satya yang baru ia temui hari ini, juga Agita yang tidak pernah berbicara dengannya tentang banyak hal sebelumnya. Hanafira menyampaikan kepada keduanya, bahwa ia bisa merasakan apa yang sedang Sina dera. Ia seperti seseorang yang sedang menjerit kesakitan, dibalik sikap tangguh dan mampu yang ia tunjukkan ke semua orang.
Hanafira juga menceritakan bagaimana detil pertemuannya hari itu dengan Sina yang kemudian menenangkannya dalam sebuah pelukan. Juga tentang malamnya, dimana Sina akhirnya dapat tenang juga dengan sebuah pelukan serupa. Sina menangis ketakutan dengan hebat. Membanting semua benda disekelilingnya, seolah mencoba membunuh sesuatu yang ada ada didepan matanya, meskipun Hanafira tidak tahu itu apa. Agita lalu menimpali cerita Hanafira dengan semua detil tentang trauma masa lalu yang Sina alami. Rasa kehilangan, sakit dan marah yang Sina pendam, mungkin saja sekarang, perlahan benar-benar mencuat ke permukaan.
Tiba-tiba Hanafira mengingat sesuatu. Setelah terbiasa tinggal bersama, Sina dan Hanafira sering menghabiskan waktu berbicara banyak hal dimeja makan. Lalu, suatu hari Sina pernah berkata, “Kamu kehilangan seseorang, namun tangannya masih mampu kau sentuh walau sebentar. Kehilangannya, tidak benar-benar membuat kebahagiaanmu luluh lantak. Kamu hanya terjebak dalam obsesi yang juga akan memudar seiring berjalannya waktu. Sedangkan aku, waktuku benar-benar berhenti disana. Aku tak bisa menyentuh apapun ketika rindu mendera. Hanya sebuah potret kecil yang tersisa, yang juga masih sulit ku percayai bahwa hal itu pernah ada”; sekarang, Hanafira mengerti maknanya.
“Aku menduga, mungkin karena dua kejadian ini, secara tidak langsung, terhubung dengan masa lalunya, maybe?” Hanafira kembali berspekulasi.
“Kalau kejadian apartemen, mungkin. Tapi kalau apa yang terjadi pada Risa, gue gak yakin, Fir.” Satya menyampaikan pendapatnya.
“Tapi, Sat…” Agita menyanggah. Ia teringat sesuatu pula.
“Kenapa, Git?”