Jakarta, Desember 2019.
Randy berlari mengejar Hanafira.
Perasaannya sungguh kacau. Sudah lumayan lama ia tidak berkomunikasi dengan perempuan itu, sejak terakhir kali memutuskan akan menikahi gadis lain. Kemunculan Hanafira hari ini, juga pertemuan seperti ini, sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya. Bodohnya, saat Hanafira menatapnya penuh makna, ia masih tidak bisa mengenali gadis yang sempat ia ajak untuk menikah. Rasanya, ia begitu bersalah.
Jarak memang menjadi kendala hubungan mereka berdua saat itu. Tidak pernah masuk dalam logika Randy, jika Hanafira akan melakukan hal sejauh ini. Ucapannya untuk memangkas jarak demi menemui dirinya, sungguh bukan hanya sekadar bualan semata. Bahkan ketika Randy meminta ijin untuk mencari perempuan lain yang memiliki jarak terdekat dengannya, ia masih bilang ingin memperjuangkan Randy dengan caranya sendiri. Hanafira tahu, dia sepertinya memang terlahir untuk menjadi pejuang demi cintanya. Tidak pernah ia memegang konsep egois, untuk selalu meminta lelakinya berjuang demi dirinya.
Entah sejak kapan, secara tidak sadar, Hanafira justru menumbuhkan sikap insecure terhadap dirinya sendiri dengan konsep demikian. Perasaan takut tidak dihargai, takut kehilangan, takut ditinggal sendirian, takut tidak dianggap, menjadi momok yang begitu menghantui perasaannya. Tekanan demi tekanan pun ia dera. Tidak hanya dari lingkungan sosialnya, juga dari keinginan dirinya sendiri.
Setelah berlari sekuat tenaga, Randy mampu meraih pergelangan tangan Hanafira yang sudah hampir naik ke dalam taksi online yang telah ia pesan.
“Fira, tunggu!”
Hanafira cukup kaget karena Randy mengejarnya sejauh ini. Ia kemudian menghempaskan pegangan tangan Randy dan berkata, “cukup, Mas. Mari kita hentikan ini dan saling melupakan.”
Randy tetap mempertahankan genggamannya, “Fir, plis lah, jangan kekanak-kanakan begini.”
Mendengar pernyataan Randy demikian, emosi Hanafira yang sempat mampu ia kendalikan, mulai kembali tersulut. Gadis itu menatap Randy tajam penuh rasa muak, “kamu jelas tahu, siapa yang lebih kekanak-kanakan diantara kita, Mas!”
Tin…tin…
Klakson peringatan dibunyikan supir taksi online yang juga dikejar waktu, karena lalu lintas yang padat. Randy mengeluarkan sejumlah uang lalu meminta sang supir pergi tanpa penumpangnya, yang masih ia genggam. Randy lalu mengajak Hanafira untuk menepi.
“Kamu mau apa lagi dari aku, Mas Randy yang terhormat?!”
“Lo kenapa gak bilang ada di Jakarta? Lo kenapa gak kasih kabar bahwa lo pengen ketemu gue, Fir?!”
“Lalu? Kalau kamu tahu aku di Jakarta, kamu akan mengubah pikiranmu?! Akan mengubah keputusanmu?!”
“Fir, sudah lah. Bukankah kita sudah sepakat ini selesai sebelumnya?!”
“Mas, ingat baik-baik perkataanku. Walau harapan itu hanya sekilas, walau itu terasa begitu semu karena kita sama sekali tidak pernah bertemu, apa kamu pikir aku akan baik-baik saja dengan berakhir begitu?! Mudah untukmu menemukan penggantiku, Mas! Tapi bagiku, jika hal ini tidak ku akhiri dengan benar, aku tidak akan bisa menerima siapapun lagi dalam hatiku! Jadi, jangan kamu pikir mudah bagiku! Sama sekali tidak, Mas!”
Tangis Hanafira pecah -lagi. Ia meninggikan nada suaranya, hingga orang sekitar tahu, mereka sedang bertengkar.
“Aku datang kesini untuk berdamai dengan diriku sendiri. Berdamai dengan semua tentang kita dengan cara baik. Tapi melihat kalian hari ini, saling menyapa tanpa melihatku, tanpa memberitahuku, aku benar-benar muak!”
Hanafira semakin meledak. Namun sapaan seseorang, membuatnya sejenak menahan diri.
“Randy?” sosok Pamela muncul beriringan dengan Satya.
“Pamela?”
“Wait. Kamu Randy mantan pacarnya Pamela waktu SMA?” Satya menimpali sembari mengingat sosok ketua OSIS yang dulu pernah menjadi kebanggaan sekolah mereka.
“Iya.” Randy mengangguk.
“Jadi…kalian juga saling kenal? Kamu kenal dia juga, Sat?” Satya mengangguk polos mendengar pertanyaan Hanafira, tanpa tahu apa yang sedang terjadi.
“Iya, Fir. Dia kakak kelas gue waktu SMA dulu.”
Percakapannya singkat, namun mampu membuat Hanafira semakin geram. Ia kemudian mendaratkan tamparan pada pipi kanan Randy, lalu pergi setelah melepaskan genggaman tangannya. Perasaan perempuan itu sungguh hancur. Ia marah luar biasa, dan secepat mungkin membentangkan jarak dengan tiga orang yang sedang mematung menatap kepergiannya.
****
Kemarin benar-benar hari yang kacau.
Setelah pertemuan tak terduga dengan sosok Randy, Hanafira menghilang tanpa kabar. Agita sama sekali tidak bisa melacaknya, begitu pun dengan tim Forty Seconds lainnya. Dia juga tidak berada di Banjarmasin, tidak pula dipenginapan yang menjadi fasilitas untuknya. Dari sudut rumah sakit, Agita dapat kabar dari Nilam jika Risa telah sadarkan diri setelah melewati fase kritisnya. Ia telah dipindahkan ke ruang rawat inap untuk pemulihan. Adapun Satya, setelah pertemuan pertamanya dengan Pamela, kesimpulan akhir yang ia dapat adalah Pamela memang tidak sedang baik-baik saja. Sedangkan Sina yang kemarin sempat demam tinggi, hari ini telah pulih, meskipun setengah dipaksakan, ia beraktifitas kembali. Disisi lain, Charity Event dari Forty Seconds tinggal empat hari lagi, dan Agita melakukan Finishing persiapan bersama Erwin dilapangan hari ini.
Minggu ini sepertinya akan menjadi minggu yang sibuk dan padat. Meskipun dalam keadaan penuh dengan kekacauan, pasca sakit kemarin, Sina lebih merenung dan mencoba stabil. Menuntut dirinya berpikir ekstra, untuk melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan. Pagi itu, Sina sudah nongkrong pada taman dipuncak gedung kantornya. Ia sendirian, terlihat sedang menggambar sesuatu. Bukan sebuah lukisan pemandangan, maupun hal lainnya yang menenangkan, melainkan semua mindmap berbentuk puzzle.