Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #16

Lima Belas

Jakarta, Desember 2019.

Sehari menjelang Charity Event digelar, Jakarta diguyur hujan yang lumayan lama. Namun kondisi ini, tidak membuat persiapan lapangan menjadi terhambat. Acara yang diputuskan akan digelar dengan menggunakan konsep indoor itu, telah memilih Sentul International Convention Center sebagai tempatnya. Agita dan Erwin menjadi sangat sibuk, hingga menjelang pelaksanaan, mereka terlihat lebih banyak dilapangan daripada di kantor. Status sebagai Asisten Sina pun sementara Agita tanggalkan, begitu pun dengan semua masalah yang sedang mengelilinginya.

Seperti biasanya, Charity Event menjadi acara tahunan Forty Seconds yang banyak ditunggu oleh penggemar dari platform tersebut, juga penggemar Sina. Tahun ini merupakan tahun kedua, setelah pelaksanaan pada tahun pertama, berhasil mengumpulkan donatur dan penerima dalam satu waktu yang bersamaan. Acaranya pun menjadi sangat heboh, karena Forty Seconds berhasil menghadirkan beberapa selebriti internasional sebagai bintang tamunya. Konsep tahun ini pun hampir serupa, meskipun tak sama. Kolaborasi Agita dan Erwin, menyuguhkan beberapa sentuhan yang berbeda pada beberapa aspek. Hal ini terlihat dari konsep yang semula outdoor, menjadi indoor. Begitu pun dengan konsep yang menekankan Give and Take sebagai tema dasarnya. Sesuai permintaan Sina, Agita mengabulkan keinginan temannya itu untuk menghadirkan teman-teman SMA mereka pula, agar bisa menjadi acara temu kangen secara bersamaan.

Hari ini, sebelum memantau persiapan akhir, menyusul Agita dan Erwin yang sudah lebih dahulu disana, Sina memutuskan menjenguk Risa yang masih dirawat di rumah sakit. Meskipun ini kali pertama Sina berjumpa setelah kejadian itu, namun Nilam tidak pernah absen mengabari Sina tentang perkembangan Risa. Dari Nilam pula, Sina tahu Risa sudah mampu berjalan-jalan santai di area taman rumah sakit, seperti yang ia lihat ketika tiba disana.

“Udah lebih baik?” Sina menyapa Risa yang terlihat sibuk melakukan olahraga kecil pada kakinya. Risa, dengan wajah berseri mengangguk, lalu memeluk Sina yang baru saja duduk disampingnya. Sebelumnya, sejak ia sadarkan diri, Risa lebih sering berbincang dengan Nilam dan memeluknya lebih banyak. Ia juga sesekali memeluk suster yang sejak awal memiliki tugas mengontrol perkembangan kesehatan Risa. Pagi ini, saat melihat Sina, setelah sekian lama, keinginannya memeluk Sina sudah tidak tertahan.

Meskipun membingungkan, Sina menyambutnya dengan hangat. Sina mengerti, banyak hal yang harus Risa lalui sampai sejauh ini. Ia juga merasa begitu bersalah, karena sejak pertemuan pertama, ia sangat jarang menemui Risa secara langsung.

“Gue minta maaf, Ris. Gue udah lalai buat bikin lo aman selama disini,” Sina mengelus rambut Risa dengan pelan.

“Gak apa-apa, Sin. Kamu gak salah. Setelah kejadian kemarin, gue bener-bener takut mati, Sin. Gue gak pengen mati. Sampai hari ini gue inget rasanya, dan gue gak pengen lagi.” Risa memeluk Sina semakin kuat. Ia menangis. Hatinya sedang benar-benar merasa takut. Sina lalu melepaskan pelukan Risa dan menatapnya, “Ris, gue pengen ngomong.”

Sepasang mata belonya menatap Risa yang sudah terlebih dahulu menatapnya. “Tentang apa?”

“Beberapa waktu ke belakang, lo yakin gak merasakan hal yang aneh?”

Ya, Risa memang merasa ada yang aneh. Ia bercerita tentang seseorang yang katanya sering datang ke hotel tempatnya menginap. Dari resepsionis, Risa dapat info kalau orang itu selalu menanyakan namanya, hampir setiap hari. Ia juga bilang, merasa terawasi oleh beberapa orang. Awalnya dia merasa itu hanya karena dia merasa asing dikota ini, namun dengan adanya kejadian kemarin, Risa yakin, ada yang memang sedang berniat tidak baik terhadapnya.

“Hari itu, apa yang sebenarnya terjadi, Ris?”

“Dua orang mengetuk pintu kamar. Aku lupa mengecek, karena ku kira room service. Kebetulan aku memang baru saja selesai memesan sarapan pagi untuk diantar ke kamar waktu itu, Sin.”

“Lalu? Kamu lihat wajahnya?”

“Enggak. Salah satu diantara mereka meraih tanganku dan memutar badanku, lalu mengancamku dengan sebilah pisau.”

“Apa mereka mengatakan sesuatu?”

Risa mengingat sesuatu yang samar. Ia mencoba menirukan gaya bicara orang itu, namun tidak bisa. Dalam ingatannya terlintas kalimat, “jarakmu terlalu dekat” yang sama sekali tidak Risa mengerti.

“Aku juga mengerti apa maksudnya, yang jelas setelah itu aku benar-benar merasakan perih di leherku, Sin.”

“Huft.”

Sina menghela nafas panjang. Ia semakin yakin, jika semua kejadian ini ada hubungannya dengan dirinya. Sina merasa sangat bingung. Selama ini, ia tidak pernah merasa bersalah jika dirinya berada dalam bahaya. Sebab ia memang terbiasa dengan keadaan itu sedari kecil. Namun jika sekarang bahaya yang ada dalam hidupnya, juga ikut melibatkan orang lain, Sina merasa harus melakukan sesuatu.

“Ris, lo jangan ceritakan apapun lagi ke siapapun tentang hal ini. Besok Charity Event digelar. Gue mungkin bakal full time disana. Kemudian besok lusanya, gue bakal berangkat ke Palangka Raya.”

Mendengar nama kota tempat tinggalnya disebut, Risa bereaksi berbeda. “Ngapain, Sin?”

“Sepertinya, lo harus balik kesana aja, Ris. Kota ini sementara gak aman buat lo. Sekalian mau ada yang gue urus. Masalah hutang piutang keluarga lo, udah gue selesaikan. Mengenai timbal baliknya, nanti kita bicarakan lagi setelah kondusif.”

“Sin…”

Lihat selengkapnya