Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #17

Enam Belas

Jakarta, Desember 2019.

Akhir tahun baru tiba.

Charity Event dari Forty Seconds juga resmi dimulai. Malam itu, banyak undangan datang silih berganti. Tidak terkecuali, Randy dan calon istrinya yang bernama Arin. Sebenarnya, pasca kejadian waktu itu, Randy sempat menghubungi Sina untuk meminta pandangan. Ia juga sempat ingin memutuskan untuk tidak kembali ke Yogyakarta dan bertahan di Jakarta sampai kegiatan ini dimulai. Namun Sina menolak keras. Ia yakin, Hanafira memerlukan waktu yang banyak untuk sendiri. Perasaan lemah seorang perempuan, juga fakta bahwa memang ia sama sekali tidak mengetahui Sina dan timnya mengenal tentang sosok Randy, membuatnya begitu syok.

Randy datang dengan setelan jas rapi berwarna hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Senada dengan sang calon istri -yang juga berhijab, mengenakan long dress hitam perpaduan pastel yang begitu menenangkan. Keduanya tampak begitu serasi. Dari sisi lain, terlihat juga teman-teman SMA Sina berdatangan satu per satu, yang kemudian mengisi ruas-ruas dari kursi kosong yang telah khusus dipersiapkan untuk mereka. Ada pula sosok Pamela yang Sina undang khusus datang bersama sosok kekasih bernama Adit. Dua kursi pada barisan VIP bagian belakang sudah disiapkan untuknya.

Dan…

Seseorang berjalan mendekati kursi VIP. Sudah ada Sina yang sedang sibuk menerima panggilan telepon, Satya yang duduk disamping kiri Sina, dan Risa yang bercengkerama disana. Perempuan ini berhenti dan duduk pada sebuah kursi VIP -yang tertulis nama Hanafira. Ya, Hanafira datang. Kehadirannya memancing senyuman Sina, dan juga Risa yang baru saja berkenalan secara langsung dengannya. Hanafira datang memenuhi undangan Sina. Gadis itu telah memiliki cukup banyak waktu untuk memutuskan, dan hari ini, ia memutuskan untuk menemui Randy beserta calon istrinya.

Dari balik panggung, Agita dan Erwin sangat sibuk mengarahkan para crew demi lancarnya acara. Keduanya bahkan terlihat sesekali berdebat, dan diakhiri dengan kesepakatan yang disetujui bersama. Melihat luasnya gedung Sentul International Convention Center yang telah penuh dalam hitungan menit, menunjukkan betapa banyaknya dukungan yang datang untuk acara ini. Baik itu dari sponsor, teman, kerabat, media, maupun klien dari Forty Seconds itu sendiri. Setelah rangkaian acara berjalan beberapa, tibalah saat dimana Sina menaiki panggung dan menyampaikan pidato singkatnya selaku Founder.

Sesaat, keheningan tercipta. Sina yang malam itu tampil lebih sederhana dari biasanya, dengan riasan tipis -yang tidak seperti biasanya, juga gaya rambut yang hanya ia biarkan terurai tanpa aksesoris apapun, sejenak mematung pada podium mini di atas panggung. Ia menatap sekeliling. Mengarahkan matanya dari sudut paling kanan, hingga sudut paling kiri dari gedung ini. Penonton yang menyaksikan pun ikut hening sejenak, menanti kata yang akan keluar dari mulut Sina. Perasaannya sedang begitu haru. Melihat banyaknya orang ditempat ini, cukup menunjukkan bagaimana nilai Forty Seconds dimata mereka, dan Sina benar-benar ingin menangis.

“Saya…” suaranya terdengar berat. “Saya…” ia mengulangi kata yang sama. Kali ini dengan suara yang lebih berat, sebab air mata sudah jatuh dari pelupuk matanya. Agita dan Erwin yang berada disisi panggung terdiam menatap Sina. Mereka melihat Sina baik-baik saja saat dipersilahkan pembawa acara untuk menempati podium. Namun belum lama menit berlalu, mereka melihat Sina sudah tertunduk menyeka air matanya.

Semua mata tertuju pada Sina. Ada yang heran, ada pula yang mudah tersentuh hatinya juga ikut terperanjat ingin menangis pula. Satya mencoba menatap Sina lekat-lekat, berharap perempuan itu melihat kode darinya. Risa maupun Hanafira, juga melakukan hal serupa, meskipun mereka berdua jelas lebih tahu, jika tidak mengejutkan banyak orang, bukan Sina namanya.

“Sudah dua tahun sejak Forty Seconds resmi berdiri. Saya benar-benar bahagia, platform ini mampu mendapatkan cinta dari kalian semua dengan begitu banyak,” Sina mencoba menguasai dirinya. Suaranya pun perlahan stabil, “banyak tenaga, emosi dan air mata, yang mengiringi perjalanan kami, juga kerjasama tim yang luar biasa didalamnya yang tidak bisa saya uraikan dengan kata sebanyak apapun…”

Layar besar yang menjadi Background panggung, mendadak berubah menjadi sebuah tampilan yang membuat semua penonton terkejut. Mata yang awalnya tertuju pada sosok Sina, beralih pada gambar tersebut. Sebuah potret kecil dari foto keluarga Sina semasa kecil muncul disana. “Kalian jelas ingat, bagaimana publik mengenal saya karena fakta kematian keluarga saya dua tahun yang lalu terungkap. Ini adalah foto yang tersisa, dari semua yang saya miliki dalam hidup saya. Sejak saat itu, saya tidak pernah menginginkan apapun selain kematian.”

Penonton terkejut. Sejak berita keluarga Sina mencuat, ini kali pertama ia berani membicarakan banyak hal tentang keluarganya. “Setiap malam sejak saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana mereka membunuh kedua orang tua saya, saya selalu tidur dalam ketakutan yang tidak pernah bisa dijelaskan dengan kata apapun. Bagaimana kemudian hari-hari saya berubah menjadi begitu tidak menggembirakan, karena tidak ingin berteman dengan siapapun, kecuali benda tajam, yang saya pikir mampu melindungi saya kapan pun saya butuhkan.”

Sina meremas kertas yang ia pegang. Sebuah pidato singkat yang diatur Agita tertulis disana. Masih dari sisi panggung, Agita melihatnya. Gadis itu hanya tersenyum tipis, dan menyadari, bahwa Sina selalu menjadi orang yang mampu mengejutkan semua orang dengan tingkah out of the boxnya. Entah mengapa, mendengar Sina berbicara tentang keluarganya, bahkan dihadapan khalayak ramai yang tidak semuanya ia kenal, membuat Agita lega.

“Apa yang sedang dia lakukan, Git?” Erwin berbisik ditelinga Agita.

“Dia sedang mencoba melepaskan sesuatu yang mengikatnya selama ini. Mencoba alat yang baru, dengan cara yang baru pula.” Agita jelas tahu, Sina melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Dia sedang mencoba menghadapi, alih alih menghindari. Agita melihat, yang saat ini berdiri di podium bukanlah seorang Founder dari Forty Seconds, tapi sesosok Sina badas yang ia kenal sejak SMA dulu.

“Awalnya, Forty Seconds hanya pelarian untuk saya. Dibangun dengan keegoisan, karena ingin memiliki teman yang saling memahami. Diberi konsep Give and Take, karena sangat ingin menyembuhkan orang lain untuk menyembuhkan diri saya sendiri pula”, Sina berjeda. Ia menatap Satya, Risa, Hanafira dan Pamela yang duduk pada satu area yang sama. Juga Agita dan Erwin, yang ia sadari kehadirannya disamping panggung. “Namun, beberapa orang mengajari saya hal baru. Bahwa hidup tidak selalu bisa dihadapi dengan memaksakan satu sudut pandang yang sama. Salah seorang diantaranya juga mengajarkan, bahwa yang saya butuhkan untuk merasa aman bukanlah benda-benda tajam yang selalu saya bawa, melainkan kehangatan dari seorang teman yang tulus. Dan yang terpenting dari ini adalah menghadapi takdir pahit dan menyelesaikannya, jauh lebih baik daripada menghindarinya sekuat tenaga seumur hidup saya.”

Sina tidak lagi terlihat menangis. Ia tersenyum, lalu berkata, “untuk itu, saya akan mengambil istirahat panjang dari Forty Seconds…” kali ini, bukan hanya hadirin yang terkejut, Agita pun ikut melongo dibuatnya. Sina tidak pernah mengatakan tentang rencana ini sebelumnya, “dan hadiah akhir tahun, sebagai ucapan terimakasih atas cinta dan kasih kalian terhadap kami, telah saya kirimkan…” Sina melihat jam tangannya, “sekarang.”

Lihat selengkapnya