Tujuh Belas
Palangka Raya, Januari 2020.
Sina memenuhi janjinya untuk menyelesaikan hutang piutang keluarga Risa. Ia juga berniat mengantarkan Hanafira kembali ke Banjarmasin, namun gadis itu menolak. Begitu pun dengan Risa. Baginya, dengan sejumlah uang yang Sina berikan ke keluarganya tidak secara otomatis membuat hubungan mereka berakhir begitu saja. Hanafira pun merasa, setelah masalahnya dengan Randy selesai, justru PR terbesarnya adalah membantu Sina menyelesaikan masalahnya. Dengan menggunakan penerbangan siang, Sina pergi dari Jakarta ke Palangka Raya ditemani Satya, Risa, dan Hanafira. Sedangkan Agita, setelah Charity Event selesai, ia meminta cuti untuk mengambil liburan panjang bersama keluarga, dan Sina mengijinkan itu.
Ada beberapa hal yang ingin Sina ketahui dari kota ini. Pertama, ia ingin mengetahui sisi keluarga Risa secara langsung. Kedua, Sina ingin mulai membuka diri, menghadapi kenyataan tentang keluarganya dengan mendatangi lokasi dimana rumahnya dulu berdiri dengan megah. Ketiga, ia ingin tahu, satu di antara korban selamat itu, siapa orangnya. Sina sadar, untuk menyelesaikan semua ini, perlu keberaniannya satu kali lagi. Melihat Hanafira dan Risa berhasil berdamai dengan dirinya sendiri dan masa lalu, membuatnya juga ingin melakukan hal yang sama. Ia ingin bisa kembali berdiri, mengambil lagi sisi ceria Sina yang pernah hilang.
Sore itu, mereka tiba dirumah Risa yang luasnya tidak seberapa, namun memiliki sisi kerapian yang maksimal. Ibunya menyambut kehadiran mereka dengan hangat, seperti keluarga sendiri. Bahkan, beberapa sajian sengaja beliau masak demi sosok Sina yang sering Risa ceritakan melalui sambungan telepon. Dalam percakapan makan siang -yang terlambat itu, Sina sempat berucap ingin merombak total rumah Risa yang terlalu sempit, dan Ibu Risa hanya tertawa karena terbiasa dengan gaya bicara Sina yang katanya nyablak. Namun, siapapun tahu, Sina tidak pernah main-main dengan ucapannya. Selepas makan siang itu, Sina benar-benar menghubungi timnya di Jakarta untuk merencanakan hal tersebut.
Menjelang petang, mereka bersantai pada teras rumah Risa yang lumayan lapang dan nyaman, sembari sejenak menikmati senja yang tenteram di kota Palangka Raya. Sangat jauh dari keramaian kendaraan bermotor, juga polusi udara yang begitu sesak.
Tiba-tiba…
Pamela datang dengan mengambil penerbangan sore dari Jakarta ke Palangka Raya. Ia memutuskan pergi setelah menelepon Sina, memastikan keberadaannya saat itu. Pamela berkata, “Sin, kakak lo masih hidup! Renata masih hidup!” sebelum akhirnya sambungan telepon ia matikan sesaat menjelang take off. Kini Pamela telah tiba. Ia berlari kecil, setelah turun dari taksi bandara yang mengantarkannya ke alamat yang Sina berikan.
Namun…
Seseorang melintas dan menusuk perutnya dengan cepat, lalu berlalu begitu saja. Mereka yang menyaksikan itu berteriak hebat. Darah segar mengucur dari perut Pamela, sebelum akhirnya ia ambruk tak sadarkan diri. Gadis itu pingsan, dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sina melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Ia kembali mematung. Ia sangat syok, hingga tidak bisa bereaksi apapun selain diam. Ia merasa seperti melihat kematian orang tuanya untuk kedua kali. Sina benar-benar merasa sekujur tubuhnya beku, hingga Satya membantunya menyadarkan diri. Satya memegang tangan Sina dan menenangkannya. Ia tahu, Sina sedang tidak baik-baik saja.
****
Sina menunggui didepan ruang ICU. Ia duduk sendirian. Termenung, seolah masih tidak percaya, tidak ada takdir yang benar-benar bisa membiarkannya tenang walau sebentar. Risa mendekatinya dan menyuguhkan segelas teh hangat.
“Aku tahu kamu syok, begitu pun dengan teman-teman lainnya. Tapi melihat kejadian ini, aku teringat sesuatu yang ingin ku sampaikan.”
“Apa itu?”
“Waktu kamu kasih lihat foto keluarga kecilmu di Charity Event kemarin, aku mengingat sesuatu, Sin.”
Sina menatap Risa, tertarik akan sesuatu. “Apa, Ris? Kamu ingat apa?”
“Ibumu itu, teman ibuku. Aku pernah lihat foto mereka waktu masih sama-sama muda. Awalnya aku gak yakin, tapi sesampainya disini, aku menanyakannya sendiri ke ibuku.”
Sina kaget. Kemudian Risa bercerita tentang bagaimana eratnya persahabatan ibunya dengan ibu Sina yang sering diceritakan sewaktu ia kecil. Juga fakta tentang ibu Sina yang selalu menjadi primadona, hingga dikejar banyak lelaki karena sifat baik dan wajah cantiknya. Dari cerita itu pula Sina tahu, ada seseorang bernama Bagas yang selalu mengejar cinta ibunya, membuat ia ingat nama seseorang yang hampir serupa.
Puzzle yang selama ini Sina cari semakin mendekati kata lengkap. Kecurigaannya tentang sosok Bagas yang mengaku sebagai Paman Pamela itu, juga mendekati kata benar. Tentang sosok Risa pun, kini sudah terjawab. Bagaimana kemudian Risa terluka, juga semakin jelas ada kaitan erat dengan kebenaran yang sedang Sina coba gali. Lalu, melihat kenyataan demikian, membuat Sina yakin, Pamela tahu banyak hal selain tentang kakaknya masih hidup. Sina yakin, Pamela tahu dimana kakaknya berada, atau bahkan lebih dari itu. Malam itu, Sina memutuskan tidur dirumah sakit dengan ditemani Satya.
****
Tengah malam menjelang. Selasar rumah sakit juga terlihat sepi. Hanya ada beberapa perawat yang terlihat melintas sesaat, kemudian pergi patroli ke kamar-kamar pasien. Satya yang masih terjaga, memutuskan membeli kopi dikantin rumah sakit. Meninggalkan Sina yang masih terlelap didepan ruang ICU. Beberapa saat kemudian, seseorang mendekat perlahan. Ia mengenakan setelan serba hitam, dengan topi menutupi sedikit wajahnya dari sorotan kamera CCTV. Lelaki itu menghampiri Sina dan meletakkan sebilah pisau di lehernya. Cukup membuat perih, hingga Sina terbangun sejenak.
“Harusnya, ku lenyapkan kamu sejak dulu.”
Sina terdiam. Ia mengenali suara ini, namun tidak bisa berbuat banyak. Ia melirik disekeliling, tidak menemukan Satya, maupun orang lain. Selasar itu benar-benar sepi. Dalam keheningan itu, tekanan pisau yang semakin menguat di leher Sina membuatnya menjerit kesakitan.