Empat Puluh Detik

Nana Tauran Sidik
Chapter #19

Delapan Belas

Delapan Belas

Palangka Raya, Januari 2020.

Hujan deras mengguyur Kota Palangka Raya sore itu. Banyak orang berlarian untuk berteduh, meskipun sebagiannya memilih untuk tetap berjalan santai. Hiruk pikuk sepanjang jalan Diponegoro mendadak buyar. Tidak ada yang istimewa, selain aktifitas pulang kantor yang begitu biasa. Beberapa orang menghentikan laju kendaraannya dibawah pohon, sekadar mengambil jas hujan, memasangnya, lalu melanjutkan perjalanan. Pada pertigaan jalan terdapat lampu lalu lintas yang sedang menunjukkan warna merah. Satu per satu kendaraan berhenti dan mengisi ruas jalan. Satu dua bocah tanpa jas hujan, terlihat basah kuyup dan bercengkerama dengan temannya di atas sepeda motor. Masih dengan seragam lengkap putih biru, dan terdapat aksesoris tindik ditelinganya, mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang lumayan lantang, mencoba menandingi kerasnya suara hujan.

Pada sisi kiri jalan terdapat sebuah cafe kecil dengan nuansa rustic yang kental. Ada tiga pasang kursi dan meja yang diletakkan diluar dengan konsep outdoor, sementara tujuh pasang lainnya disuguhkan dengan nuansa indoor full AC. Beberapa pelayan masih sibuk menata panggung kecil yang diletakkan pada bagian pojok kanan cafe menghadap ke arah jalan raya. Seperti biasa, tempat ini baru menerima tamu setelah jam tiga sore berlalu, dan setiap malam minggu, mereka selalu menyuguhkan penampilan seorang penyanyi lokal dengan pertunjukan live music accoustic.

Pukul empat sore, beberapa menit sebelum mendung berakhir dengan hujan yang begitu deras, seorang perempuan turun dari mobil kecil berwarna lemon. Ia mengenakan setelan cape jumpsuit warna dusty pink, high heels dengan jenis Stiletto ukuran 39 yang memiliki warna senada, juga sebuah tas kecil yang ia jinjing pada tangan kirinya. Rambut panjang sebahunya tergerai indah, dan ditelinganya menjuntai anting kecil yang tidak terlalu mencolok. Langkahnya mantap menuju salah satu dari tiga pasang meja dan kursi outdoor. Tidak ada siapapun disana. Ia hanya sendirian, melepas kacamata hitamnya, beberapa menit mengulik isi menu yang disuguhkan, sebelum akhirnya ia hanya memesan secangkir piccolo latte.

Lihat selengkapnya