Empat Puluh Hari

Annisa Dwuta
Chapter #1

Kanvas Merah

Prolog

Di sebuah pesantren yang terletak di pinggiran kota, angin yang bertiup di pagi menjelang siang mengusap tenang. Hanif, seorang remaja berusia lima belas tahun, baru saja tiba di pesantren ini dengan hati yang penuh semangat dan mata yang dipenuhi keingintahuan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan teman-temannya setelah libur panjang. Terutama sahabatnya, Ahmad. Dengan ransel yang masih tergantung di pundaknya, ia melangkah menuju pintu gerbang pesantren, tanpa mengetahui bahwa takdirnya di sini akan diukir oleh bayangan gelap yang menyelimuti kedamaian pesantren itu.

Hari pertama Hanif di pesantren menjadi permulaan perjalanan yang tidak terduga. Di balik senyuman sambutan dan teriakan kegembiraan para santri, terdapat rahasia kelam yang tertutup rapat. Pertama kali kedatangannya setelah libur panjang dia telah disambut dengan kejadian tragis yang tak pernah dia duga. Salah satu santri, telah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Dengan tatapan kebingungan dan keterkejutan, Hanif mengetahui bahwa santri tersebut dikatakan bunuh diri, sebuah kejadian yang mendalamkan keraguan di hati Hanif.

Kemudian, takdir mengantarkannya pada dua teman sejawat, Ali dan Sarah. Ali, pria cerdas dengan semangat keadilan yang menyala-nyala, sedangkan Sarah, gadis dengan tatapan tajam berwawasan luas yang penuh dengan keberanian walau sedikit jutek. Bersama-sama, ketiganya membentuk aliansi yang tak terduga dan tanpa mereka sadari, mengambil peran sebagai detektif amatir di antara kehidupan sehari-hari pesantren yang khusuk. Empat puluh hari adalah batas waktu mereka untuk mengungkapkan kebenaran ini.

Dalam pencarian kebenaran mereka, mereka menemukan bahwa bayangan gelap yang menyelimuti pesantren ini lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Ada rahasia dan intrik yang mencabik hati, serta pertanyaan-pertanyaan yang harus dipecahkan. Hanif, Ali, dan Sarah memulai perjalanan mereka di labirin yang rumit, dengan harapan bahwa jawaban yang mereka cari tidak akan mengubah pesantren dari tempat kedamaian menjadi panggung tragedi. Tapi, takdir telah menulis kisah mereka dengan tinta misteri yang penuh dengan tanda tanya. Apakah mereka akan berhasil?

***

BRAKK!

Langkah kakinya terpaksa berhenti saat bayangan tragis tiba dengan cara yang paling mengejutkan. Tanpa aba-aba, seorang santri terjatuh dari ketinggian gedung pesantren. Detik itu terasa seperti slow motion bagi Hanif, dan suara angin bertiup begitu kencang di telinganya, menciptakan latar belakang yang menyeramkan dan menyayat hati. Tubuh santri yang terjun begitu cepat dan keras, jatuh tepat di depannya, merobek keheningan pagi dengan keguncangan yang mengerikan. Darah terciprat mengenai baju dan wajahnya. Dia terpaku di tempatnya, tatapannya tidak bisa berpindah dari pemandangan yang membuat hatinya hancur. Pikirannya berusaha menolak kenyataan, seolah-olah ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Logika dan keterkejutan berkelahi di dalam dirinya, menciptakan konflik batin yang sulit diatasi. Hanif membeku. Jantungnya berdebar kencang, dan perasaannya campur aduk antara keterkejutan, ketakutan, dan kebingungan. Ia baru saja tiba di pesantren, dan sudah dihadapkan dengan kejadian yang begitu mengerikan. Beberapa santri yang juga menyaksikan kejadian itu berteriak dan berlari menuju lokasi kejadian, mencoba memberikan pertolongan, sementara yang lain hanya bisa berdiri terpaku, sama terkejutnya dengan Hanif.

Lihat selengkapnya