Empat Puluh Hari

Annisa Dwuta
Chapter #2

Sore Hari yang Riuh

Di bawah langit senja yang tiba-tiba diguyur hujan. Ahmad, baru saja selesai tadarus bersama teman-temannya di masjid. Dengan tenang, ia melipat Al-Qur'an dan meletakkannya di atas rak sebelum keluar dari masjid.

Saat ia melangkah keluar, aroma tanah basah menyambutnya, membuat udara terasa sejuk dan segar. Cahaya lampu masjid yang redup memantulkan butiran-butiran hujan yang turun, menciptakan kilauan yang menenangkan. Ahmad berdiri di bawah atap serambi, memandang ke arah lapangan yang mulai tergenang air.

Tiba-tiba, sebuah ide melintas di benaknya. Matanya berbinar penuh semangat. Ia berpikir, "Kenapa tidak bermain sepak bola dalam hujan?" Hujan selalu membawa kenangan masa kecilnya, saat bermain bola bersama teman-temannya di kampung halaman. Sensasi berlari di atas tanah basah, merasakan tetesan hujan di wajah, dan tawa riang saat bermain di bawah langit yang mendung.

Tanpa menunggu lebih lama, Ahmad berbalik dan mengajak teman-temannya untuk bermain sepak bola. Dengan antusias, ia mengajak mereka untuk bermain bola. "Ayo, kita main bola di lapangan! Hujannya bikin seru!" katanya dengan senyum lebar.

Halah, rasah sok nggaya, Mad. Masuk angin mengko (Halah, jangan banyak gaya, Mad. Meriang nanti),” timpal Budi yang masih duduk bersila.

Masuk angin tinggal kerokan, Bud. Ojo digawe bingung (Meriang tinggal kerokan, Bud. Jangan dibikin pusing),” sahut Ahmad dengan tawanya yang khas.

Dengan sedikit ragu namun tertarik, Budi akhirnya bangkit dari tempatnya dan mengikuti Ahmad keluar. Mereka berdua berlari keluar masjid dan meneriakki kembali teman-temannya yang masih berkumpul di dalam masjid. Hanif yang baru saja meletakkan mushaf di rak, berbalik kemudian berlari mengekor di belakang Budi. Ahmad dengan cepat mengajak semua santri yang ada di sana untuk bergabung.

Yo, cepet-cepete, nang kene kabeh! Sing kalah nanggun jajan sesok sore! (Ayo, cepetan, kesini semua! Yang kalah belikan jajan besok sore!)” teriak Ahmad dengan logat Jawa yang kental, memanggil para santri lainnya untuk bergabung.

"Ayo, kanca-kanca! Main bola di tengah hujan! mesti seru iki! (Ayo, teman-teman! Main bola di tengah hujan! pasti seru ini!)" seru Ahmad lagi dengan semangat yang menular.

Sontak, semua santri yang ada di masjid tersebut, termasuk Hanif dan Budi, merasakan antusiasme yang sama. Tanpa berpikir panjang, mereka spontan melepas sarung mereka, dan melemparkannya di serambi masjid bersamaan peci yang mereka kenakan, hanya mengenakan celana pendek dan baju yang mereka pakai. Gelak tawa dan sorak-sorai terdengar saat mereka berlari menuju lapangan yang berdekatan dengan sawah.

Lapangan itu sudah becek penuh air hujan yang terus turun dengan derasnya, membuat suasana semakin seru dan menantang. Santri-santri yang melihat kelakuan kelompok mereka dari jendela asrama juga ikut tertarik. Beberapa dari mereka keluar untuk menonton dan bersorak ria, menambah semangat para pemain. Hanif dengan semangatnya yang khas mengatur tim. "Aku dadi kiper! Sopo sing wani nyerang? Dadi striker yo? (Aku jadi kiper! Siapa yang berani nyerang? Jadi striker, ya?)" tanya Hanif sambil menunjuk beberapa santri yang tampak antusias. Mereka semua bersorak, semangat menyambut tantangan sore itu meski hujan makin deras.

Lihat selengkapnya