Empat Puluh Hari

Annisa Dwuta
Chapter #3

Santri Baru

Hanif, santri baru yang penuh semangat, berdiri di halaman pesantren dengan senyuman ceria yang mencerminkan kebahagiaannya. Matahari pagi memberikan cahaya hangat pada wajahnya yang berseri, dan suasana pesantren yang damai tampaknya menjadi tempat yang sempurna untuk memulai perjalanan keilmuannya. "Akhirnya aku bisa kesini juga." Ucapnya lirih sembari melihat bangunan di depannya dengan lekat.

Sebelum melangkah masuk, Hanif berpamitan dengan kedua orang tuanya. Di depan gerbang pesantren, Hanif merasakan kehangatan dari pelukan ibunya. "Jaga dirimu baik-baik di sana, Nak," kata ibunya dengan mata berkaca-kaca. Ayahnya menepuk bahunya dengan bangga. "Kami selalu mendoakanmu, Hanif. Jadilah santri yang baik dan rajin belajar. Kalau ada sesuatu jangan ragu meminta tolong pak ustaz dan hubungi Ayah, oke." Hanif mengangguk pelan dan tersenyum melihat kedua orang tuanya.

Hanif, melangkah dengan hati-hati melintasi pintu gerbang pesantren, matanya penuh dengan rasa kagum. Pesantren ini terletak di tengah hijaunya perbukitan, dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi dan hamparan tanaman yang indah. Udara segar dan sejuk seolah menyapa kedatangan setiap tamu baru, membawa keharuman bunga dan aroma tanah basah. Bangunannya tampak modern walau terletak cukup jauh dari perkotaan.

Dia memandangi gedung-gedung pesantren yang megah dengan arsitektur khas Islam. Menara masjid menjulang tinggi ke langit, menghiasi lanskap pesantren dengan keanggunan dan keagungan. Kubah emas yang bersinar menangkap sinar matahari pagi, menciptakan perpaduan warna yang memukau antara cahaya dan bayangan. Dia melangkah lebih dalam ke dalam kompleks pesantren, dan matanya tak henti-henti memandang sekelilingnya. Bangunan-bangunan yang teratur dengan jendela-jendela berbentuk lengkung menunjukkan keindahan desain arsitektur Islam. Dinding-dinding batu berwarna krem memberikan pesona tersendiri, sementara ornamen-ornamen artistik menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang damai dan spiritual.

Hanif merasa seperti dia telah memasuki dunia yang penuh keajaiban. Suasana sekitarnya yang tenang dan alami memberikan ketenangan batin, dan aroma harum kayu dan bunga yang menyusup ke hidungnya menambah kekhusukan momen itu. Langit biru cerah di atasnya memantulkan cahaya pagi yang mulai menyapa, menandakan awal petualangan spiritualnya di pesantren.

Dia melihat santri-santri lain yang sedang beraktivitas di halaman pesantren. Beberapa sedang membaca Al-Qur'an di teras, sementara yang lain terlibat dalam diskusi-diskusi keagamaan di bawah pohon-pohon rindang. Hanif merasa terharu dengan kesederhanaan dan kedekatan antar-santri, merasakan aura persaudaraan yang mengalir begitu kuat di pesantren ini.

Melalui perjalanan pendeknya di dalam pesantren, Hanif semakin yakin bahwa dia telah menemukan tempat yang tidak hanya sekadar tempat belajar, tetapi juga sebuah rumah spiritual. Pesantren ini bukan hanya sekadar bangunan-bangunan indah, tetapi juga sebuah komunitas yang memancarkan kehangatan dan cinta. Dengan hati yang penuh rasa syukur, Dia bersiap untuk memulai perjalanan rohaniahnya di tempat yang diimpikannya selama ini.

Sejenak dia menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan penuh kelegaan sebelum melangkah “Damai sekali pagi ini.” Ucapnya dengan penuh kagum.

Tiba-tiba, dia melihat seorang santri laki-laki mendekati seorang santriwati yang tampak sedang buru-buru. Santri laki-laki itu dengan penuh semangat bertanya, "Maaf, mba, boleh saya tanya? Asrama santri laki-laki di sini letaknya di mana, ya?"

Santriwati itu, menatap santri laki-laki itu dengan sedikit bingung, kemudian menjawab dengan sedikit jutek namun tetap sopan, "Asrama kita berbeda, saya tidak tahu persis. Mungkin berada di sebelah barat masjid, sana," sambil singkat menunjuk arah lalu pergi. Mendapat jawaban seperti itu santri laki-laki itu hanya bisa tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya.

Hanif yang melihat adegan itu hanya bisa menahan tawanya. Dia merasa sedikit aneh dalam hati melihat kekonyolan santri laki-laki tersebut. "Hmm, pertanyaannya konyol juga ya," gumamnya pelan.

Baginya, pertanyaan semacam itu terdengar cukup konyol di lingkungan pesantren yang seharusnya sudah familiar dengan lokasi asrama masing-masing. Lagi pula, kenapa santri laki-laki itu tidak bertanya kepada sesama santri yang gendernya sama?

Namun, Hanif tidak mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Dia hanya menepuk pelan bahunya sendiri sambil tersenyum, menganggap momen tersebut sebagai salah satu dari banyak keunikan yang akan dia temui di pesantren ini.

Langkah demi langkah Hanif menyusuri koridor-koridor yang penuh dengan santri lainnya, Hanif menoleh ke kanan dan kiri mencari kamar yang telah ditentukan untuknya. Sesekali dia akan bertanya kepada santri lainnya tentang letak kamarnya sambil berkenalan. Tak berapa lama, Hanif tiba di sebuah koridor yang sepanjang kiri dan kanannya dipenuhi oleh pintu-pintu kamar para santri pesantren ini. Mungkin ada sekitar 10 kamar di setiap sisinya, meskipun dia tidak yakin. Hanif terus berjalan sambil sesekali menyapa santri-santri yang lewat. Mereka terlihat sibuk membersihkan kamar masing-masing, mereka membagi tugas agar cepat selesai, melakukan tugas seperti menyapu, mengepel, dan mengganti sprei dengan yang baru. Di tengah kekagumannya tiba-tiba, Hanif terjatuh terduduk karena dorongan keras yang menghantam wajahnya.

Lihat selengkapnya