Empat Puluh Hari

Annisa Dwuta
Chapter #4

LABIRIN

Pagi itu, kamar mereka penuh dengan keributan. Hanif, Zaki, dan Adam sedang terburu-buru bersiap-siap untuk pergi ke kelas. Hanif baru saja menyadari bahwa dia mengenakan sarung milik Zaki, "Waduh, iki sarungmu, Zak!” katanya sambil mencoba melepas sarung itu dengan cepat. Zaki yang masih makan camilan dengan cepat menangkap sarung yang dilemparkan oleh Hanif dan hanya melingkarkannya di leher.

Di sudut lain, Adam tampak asal-asalan memakai sarungnya. Sarungnya terlihat miring dan tidak rapi, seperti habis dilempar dan langsung dipakai tanpa dibenahi. Ahmad, yang sedang terbaring lemah di ranjang Zaki, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum melihat kekacauan itu.

Keributan semakin menjadi saat Hanif mencoba memasang pecinya. Dia memakai peci dengan sembarangan sehingga peci itu miring. Zaki juga tidak mau kalah, pecinya dipakai terbalik, "Zaki, iku pecimu terbalik! Awas nanti dibilang santri baru," ujar Hanif sambil tertawa.

Mereka semua tersadar ketika melihat jam yang tergantung di atas pintu kamar sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Panik melanda mereka, Zaki yang sembrono berkata, "Ayo cepat, udah jam 9 ini! Kelas wes mulai!" teriak Zaki. Mereka semua bergegas keluar dari kamar dengan terburu-buru.

“Eh! Mad. Kok, tidak bersiap-siap?” tanya Adam yang baru sadar kalau sedari tadi Ahmad hanya tiduran di Ranjang Zaki. Hanif dan Zaki yang sudah mau beranjak pergi mendadak berhenti dan berbalik melihat mereka berdua.

“Hari ini aku tidak masuk kelas, mau istirahat aja di kamar,” jawab Ahmad dengan malas.

Ahmad jatuh sakit. Badannya menggigil namun tubuhnya panas. Dia meringkuk dan hanya berselimutkan sarung bermotif kotak-kotak. Hanif, berpikir dan mengaitkannya karena kebiasaan Ahmad keluar malam untuk "cari angin." Ahmad meminta kepada temannya untuk mengijinkannya kepada ustaz karena tidak mengikuti kegiatan belajar hari itu. Adam mengangguk setuju. 

"Hmmm, kan, ini nih akibat sering keluar malam cari angin," kata Hanif yang berdiri di ambang pintu kamar. Zaki pun mencoba mengecek keadaan temannya itu, "Halah... sepele iki, paling mung demam rindu, rindu sama santriwati yang mana, nih, Mad?" sontak perkataannya mendapatkan hadiah berupa pukulan peci hitam yang dilayangkan oleh Adam. Ahmad mengangkat tangannya, membentuk isyarat 'oke' dengan jempolnya ke arah Adam seolah berterima kasih karena sudah memukul Zaki. Zaki hanya tertawa kecil dan refleks menggaruk-garuk kepalanya karena pukulan Adam. "Guyon Kang... guyon. (Canda Kang... canda)."

Sejurus kemudian Adam mengambil pisang kemudian menyodorkan pisang itu kepada Ahmad yang terbaring lemah di ranjang Zaki. Namun, sebelum Ahmad bisa meraih pisang tersebut, Zaki dengan cepat mengambilnya dan memakannya. Adam mencoba untuk memukulnya lagi dengan peci andalannya tetapi niatnya diurungkan dan kembali mengambil pisang yang baru untuk Ahmad.

"Ya udah, yok! Kita bawa ke UKS wae,” kata Zaki dengan mulut yang masih mengunyah.

Namun, Ahmad menolak dengan dalih bahwa dia sudah minum obat pereda demam dan memilih tidur di sana, "Ora perlu, Ki. Aku wes minum obat. Aku mung perlu istirahat sebentar.”

Lihat selengkapnya