Empat Spasi

Anis Fajar Fakhruddin
Chapter #4

2.0 Ghea

Malam ini terasa dingin. Gedung-gedung pencakar langit mulai memadamkan pencahayaan mereka, mereka terlihat seakan stalakmit-stalakmit raksasa yang bertebaran. Jalan protokol ibukota juga terlihat semakin sepi, hanya satu dua kendaran yang berlalu-lalang. Para gelandangan mulai bertebaran di depan tokoh-tokoh yang sedari tadi tutup. Mereka tak punya tempat tinggal. Hanya bumi beratap langitlah satu-satunya tempat mereka berlindung dari dinginnya malam. Jalanan temaram. Menyisahkan kengerian tersendiri bagi malam yang dipenuhi dengan ketidakpastian.

Terlihat sebuah mobil hitam bermotif merah melintas. Mobil bergaya eropa yang hanya segelintir orang saja yang mampu membelinya. Mobil tersebut bergerak cepat membelah jalanan. Itu adalah mobil Kory. Mobil sport keluaran terbaru yang hanya ada sepuluh di dunia. Kory mengendarai mobilnya sembari berbicara menelepon seseorang melalui earphone telah bertengger di telinga kirinya.

“Baik, Pa, saya akan beritahu John perihal ini.” Kata Kory melalui jaringan telepon.

“Semua saya serahkan padamu, Kory.” Suara jawaban dari seberang. “Kau adalah yang terbaik yang pernah kami miliki, jangan mengecewakan yayasan.”

“Semua titah Papa adalah perintah bagi saya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin.”

“Saya pegang ucapanmu.” Jawab suara itu lagi. Jaringan telepon pun terputus sejurus kemudian.

Kory mempercepat laju mobilnya, menuju cafe langganan tempat menghabiskan setiap waktu malamnya. Walau dia memiliki segala kemewahan, gedung pencakar langit, kendaran pribadi, ada satu hal penting yang “belum” ia miliki. Rumah. Ia tak memiliki rumah untuk berteduh. Hampir sama seperti gelandangan. Hanya saja, hidupnya lebih beruntung. Sangat beruntung. Dia tidak memiliki rumah bukan karena ia tak mampu. Bagaimana bisa, Dr. Abqory, motivator sekaligus pemilik bisnis ritel terbesar di tanah air, tidak mampu membeli rumah sendiri? Jika dia mau, dia bisa memilikinya hanya dengan jentikan jari. Tapi, itu sudah menjadi keputusannya. Dia meresa lebih bebas jika tidak memiliki rumah. Rumah adalah penjara baginya. Dia merasa semua yang telah ia miliki sekarang sangatlah cukup untuk membuatnya tersenyum—walau tidak sepenuhnya tersenyum bahagia. Dia selalu menghabiskan waktu malamnya di cafe ini. Cafe yang berada dipinggiran ibukota.

Dia tidak tidur disana. Bukan juga beristirahat. Dia bermain. Iya. Bermain dengan kode-kode rumit nan membingungkan yang tak satu orang pun memahaminya—dalam arti yang sebenarnya.

Mobil Kory merapat di cafe tersebut. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung duduk di bangku kesayngannya yang selalu dengan sengaja di kosongkan khusus sebagai bangku VVIP yang hanya boleh diduduki oleh Dr. Abqory seorang. Dibukanya laptop yang dia keluarkan dari ransel, langsung memulai permainannya.

Sepertinya pelayan cafe ini sudah sangat mengenal Kory. Lihat saja, tanpa memesan, tanpa memberikan kode sedikitpun, seorang pelayan wanita mengantarkan secangkir kopi kesukaan Kory. Kory yang sekilas melihat wajah pelayan tersebut menyadari sesuatu. Pelayan baru? Pikirnya yang sepersekian detik kemudian sudah lenyap dari otaknya yang kembali bekerja mengeluarkan rumus-rumus atau kode-kode komputer yang Kory butuhkan.

Setengah jam kemudian, seseorang memasuki cafe. Dia adalah John. Langsung saja dia menghampiri bangku temannya tersebut dan memesan secangkir kopi kepada pelayan. Menyadari kedatangan John, Kory tampak menghentikan gerakan tangannya. Dia singkirkan laptop dihadapannya untuk bisa lebih leluasa berbincang secara serius dengan John.

Melihat gelagat temannya, John seketika menjulurkan tangannya, menghentikan niat Kory. “Tunggu, bisahkah kita lebih santai sedikit. Pertunjukanmu tadi sangat menakjubkan. Pasti kau lelah menyiapkannya seharian.

Kory menghela nafas. “Tidak juga. Itu hanya pekerjaan.”

Malam tadi, sesuai jadwal yang dicanangkan, The Dark Tower mengadakan event spesial untuk merayakan ditandatanganinya kerja sama pembangunan The Dark Tower kedua yang akan didirikan di ibukota negara seberang. Di dalamnya terdapat salah satu pertunjukkan khusus yang langsung dibawakan oleh Kory, sang pemilik utama geudng tersebut. Pertunjukkan virtual yang menghadirkan proyeksi hologram dan juga video mapping secara bersamaan. Sesisi gedung berubah menjadi dunia fantasi.

Pertunjukkan ini sangat massif. Seluruh gedung, mulai dari bagian luar, koridor utama, The Dark Mall, main building, semuanya. Bahkan tak ada satu pun spot yang tertinggal. Selama dua jam nonstop, pengunjung beserta tamu undangan akan melihat dan merasakan The Dark Tower berubah m,enjadi layaknya sebuah rumah hantu raksasa—yang pastinya bukan hantu-hantu buatan yang ditampilkan. Berbagai drama hologram ditampilkan. Bukan hanya dinding, seluruh permukaan material beserta benda-benda yang ada di gedung ini berubah menjadi layar proyeksi video mapping. Tentunya, semua ini menggunakan teknologi yang sangat canggih. Ribuan proyektor nano dikerahkan. Dan itu semua adalah hasil dari otak cemerlang Kory.

Bohong jika Kory merasa dirinya tidak lelah.

“Ayolah, kawan, kau butuh istirahat. Otakmu bukan mesin. Tubuhmu juga. Bahkan , mesin pun butuh yang namanya ‘istirahat’. Kau juga butuh itu kawan.” John merasa kasihan dengan prilaku Kory yang sama sekali tidak memikirkan dirinya sendiri sama sekali.

“Sudah kubilang aku tidak lelah.” Kory menyanggah. “Jika kau bilang aku butuh istirahat, ini adalah caraku beristirahat.” Kory meraih kembali laptopnya. Dia kembali meneruskan “permainannya”.

“Aku temanmu,” kata John sekali lagi berusaha menasehati Kory. “aku tahu kau seperti apa. Memang kau merasa tidak lelah. Kau merasa ingin sekali menghabiskan seluruh sisa hidupmu dengan bekerja-bekerja dan bekerja. Lihat dirimu sekarang, kau sudah mendapatkan segalanya sekarang, Kory, segalanya. Apapun yang kau mau, kau bisa memilikinya. Kau pekerja keras, tapi tolong, tubuhmu butuh istirahat.”

Kory berpura-pura tidak memperdulikan John.

“Kau tidak bisa terus-terusan mengejar karirmu. Tidak. Kau tidak perlu. Cobalah membahagiakan dirimu sendiri. Aku tahu kau selalu tersenyum. Kau selalu bahagia di mata orang. Tapi tidak. Jauh di lubuk hatimu melawan. Kau merasakan kehampaan. Kau ingin melupakan segalanya. Tapi kau tidak bisa. Semakin besar usahamu melupakannya, semakin dalam pula ingatanmu itu menancap di hatimu, di otakmu. Memang, aku yang membawamu ke “dunia” ini. Tapi, sekali lagi, tolong jangan melupakan dirimu sendiri. You need yourself. Hanya dirimu yang kau butuhkan.”

“Jangan sok menasehatiku.” Teriaknya sambil menutup layar laptopnya dengan keras. “Nasehati dirimu sendiri, kau lebih butuh itu!”

Suasana berubah menjadi canggung. Kory terlihat kesal. Selama ini memang hanya John yang peduli dengannya. Hanya John. Tapi, siapalah John? Dia hanya seorang teman. Dia punya urusannya sendiri. Kory butuh sesuatu yang lain. Dia buth deperhatikan. Dia sendirian sekarang. Hanya dia yang merasakaan kehampaan. Hanya dia yang merasakan rasa sakit masa lalunya. Dia tidak bisa bersandar kepada siapapun. Yang dia miliki hanya pekerjaan. Dia hanya bisa hidup dengan pekerjaan. Mungkin saja kalau tidak ada pekerjaan ini, John tidak lagi peduli dengannya. Dia tahu siapa John. Kory lebih tahu tentang John daripada John mengetahui tentang dirinya. Kory tahu, John tak ingin kehilangan dirinya—dengan alasan pekerjaan, bukan sebagai teman.

Semua yang John katakan, bagi Kory, hanya beribu untaian manis yang ia katakan agar Kory baik-baik saja. Omong kosong. Itu adalah pekerjaannya—juga pekerjaan Kory. Memanipulasi. Bukan hanya sistem yang bisa dimanipulasi. Kita, manusia, juga bisa dimanipulasi, bahkan lebih mudah.

Tak berselang lama, seorang pelayan mendatangi mereka berdua, membawa nampan berisi cangkir kopi pesanan John. Ia seorang gadis yang terlihat dengan gugup menaruh cangkir tersebut di atas meja diantara tempat Kory dan John duduk. John memperhatikan gadis tersebut. Dia cantik. Manis. Rambutnya yang keriting tidak membuatnya jelek sedikitpun. Malahan, dengan rambut seperti itu, pipi tembemnya terlihat sangat menggemaskan. Kulitnya bening. Putih. Seputih mutiara. Dan matanya...

“Astaga!” John kaget, pelayan tersebut secara tidak sengaja menjatuhkan cangkir yang ia bawa. John seketika bangkit membantu pelayan tersebut. Salah satu pecahan cangkir tersebut ternyata menggores lengan pelayan tersebut. Segera, John mengambil sapu tangan miliknya dan mencoba membersihkan luka tersebut.

“Kau tidak apa-apa?” tanya John kepada pelayan tersebut yang ternyata memiliki mata indah berwarna biru tersebut.

“Tidak apa-apa.” Jawab pelayan tersebut dengan sedikit rasa malu, berusaha menolak bantuan dari John—dia merasa tak pantas menerima bantuan tersebut. “Saya akan menggantinya dengan yang baru.” Pelayan tersebut buru-buru membersihkan pecahan kaca tersebut dan segera kembali, menyiapkan secangkir kopi yang baru.

Sedangkan, Kory sama sekali tidak menghiraukannya. Ia meraih laptopnya dan menyalakannya kembali.

🌐🌐🌐

“Ya ampun! Ghea! Kau membuat kafe ini malu!” bentak seorang yang memakia jas kepada Ghea, dia manajer sekaligus pemilik dari kafe ini. “Kau sudah melakukan kesalahan sebanyak dua kali hari ini. Dan kau tahu, kesalahanmu yang kedua ini sangat memalukan.”

Yang dibentak hanya bisa menunduk. Ia masih sibuk dengan kopi yang akan ia berikan kembali kepada dua pria yang duduk di bangku pojok kafe tersebut.

“Salah satu orang disana adalah Dr. Abqory, Ghea. Dr. Abqory. Dia salah satu orang yang berpengaruh di ibukota atau negara ini.” Sang manajer benar-benar marah, wajahnya merah padam.

Ghea sedikit mengesampingkan ocehan atasannya tersebut. Dia masih tetap bersikukuh menyiapkan kopi untuk John. Dia tidak mau sekali lagi melakukan kesalahan dengan membiarkan pelanggannya tersebut menunggu pesanannya terlalu lama.

Lihat selengkapnya