Bintang-gemintang berserakan di langit. Membentuk lukisan sempurna dengan sebuah bulan yang sayu menyala diantara mereka. Laksana sebuah keluarga, bulan, bintang, dan berjuta-juta “sanak-saudara” di atas langit sana menyatu dalam dinginnya malam.
Bagai pantulan cermin, keluarga di atas muka bumi sana juga merasakan kehangatan yang sama. Ada seorang ayah sebagai kepala keluarga, sebagai imam. Ada mama yang selalu menyelimuti mereka dengan kasih sayang. Ada juga kakak beradik yang lugu dan lucu. Semuanya menyatu dalam suatu kehangatan yang tak bisa diungkapkan. Dalam balutan hidangan makan malam kecil, mereka merasakan apa yang sebenarnya jarang dirasakan oleh sebagian besar penghuni “istana-istana” kota.
“Ayah liburan sekolah ini kita kemana?” tanya si adik yang bernama Akbar.
“Iya, ayah, kita ‘kan sudah lama gak liburan.” Sang kakak Rara menimpali —berharap sama seperti adiknya. “Pergi ke pantai bisa, atau kita pergi ke pemandian air panas. Bagaimana? Sekalian kita bisa lihat pemandangan laut atau gunung. ‘Kan, kata ayah kita harus memperhatikan dan memahami alam sekitar supaya kita bisa mensyukuri nikmat yang kita miliki, iya ‘kan?”
“Pintar anak ayah.” jawab sang ayah dengan menggosok kepala putrinya tersebut. “Tapi, siapa yang mengajari kamu merayu begitu Ra? Kayaknya mama...”
“Ayah!” sang mama menimpali perkataan suaminya. “Enak saja, sejak kapan mama pintar merayu. Yang ada ayah, sukanya merayu terus. Minta dibuatin ini, minta dipijitin. Sekalian saja minta istri baru.” tambahnya sebal.
“Hahaha, mama lucu kalau marah. Iya ‘kan, Rara, Akbar.”