Isak tangisku teredam bantal. Teman-teman di sekelilingku mengobrol dan tertawa. Tidak, mereka bukan temanku. Mereka hanya sesama penghuni kamar asrama.
Kata siapa hidup di asrama itu enak? Banyak deritanya, tau. Hanya orang-orang bodoh yang senang tinggal sekamar dengan lima orang, berebut kamar mandi, makan seadanya, dan mencicipi air minum yang rasanya aneh. Asrama tempat membuang anak.
Bohong kalau ada orang tua yang bilang sayang pada anaknya, tetapi menitipkan sang anak di asrama. Mereka sama saja lempar tanggung jawab kalau begitu. Kami, anak-anak terlantar dan terbuang, dibiarkan tidur dan mencuci baju sendiri sebelum waktunya.
Selama aku menangis, tidak ada yang peduli padaku. Anak-anak perempuan itu berisik sekali. Dari tadi mereka menggosipkan anak lelaki, tertawa cekikikan, dan menyetel nada dering di ponsel kuno milik mereka. Berisik!
Kalau saja ini kamar pribadiku, sudah kuusir mereka. Lancang sekali bila aku berani melakukannya. Bisa-bisa aku ditegur pria tak ramah berwajah lokal yang harus kami panggil “bapak asuh” itu.
Asrama ini terlalu banyak aturannya. Aku benci tinggal di sini. Aku ingin pergi sejauh mungkin.
Tapi...
Pergi kemana? Saudara, aku tidak punya. Aku anak tunggal. Orang tuaku sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat. Asrama angker ini satu-satunya pilihanku.
“Siviaaa...besok kamu kebagian piket! Ambil nasi dari ruang makan pagi-pagi ya!”
Suara nyaring Agatha merobek tangisku. Buru-buru kuskea air mata. Aku bangkit, menghampiri tempat tidur Agatha.
“Besok aku piket?” ulangku serak.
“Ya. Jangan telat lho. Nanti kita semua kelaparan.”
Kuanggukkan kepala Aku berjalan kembali ke kasurku. Wajahku terbenam di bantal.
Oh ya, kita belum kenalan. Namaku Sivia Karamoy. Karamoy itu marga Minahasa yang artinya petunjuk. Pasti kalian bingung kenapa ada nama marga di belakang namaku. Ya begitulah kebiasaan kami, orang Manado. Eits, aku bukan hanya orang Manado lho. Daddyku orang Manado dan Mommyku orang Belanda. Sayang, mereka sudah tidak ada.
Gara-gara kecelakaan pesawat itu, aku dibuang di asrama jelek ini. Aku tinggal di sini sejak berumur enam tahun. September nanti, genap sembilan tahun umurku. Artinya, tiga tahun sudah aku menghuni asrama.
Orang dewasa memang aneh. Kenapa mereka titipkan aku di asrama jelek begini? Memangnya tidak ada yang mau mengadopsi anak secantik aku? Nilaiku tidak jelek-jelek amat. Lumayanlah, aku duduk di peringkat dua. Aku juga bisa menyanyi, menulis buku, menari, dan bercerita. Kenapa tidak ada keluarga yang mau membawaku pergi dari sini?
“Sivia, ke masjid yuk. Udah Maghrib nih.”
Oh, tidak. Aku keasyikan melamun sampai-sampai tidak mendengar lantunan azan. Aku menggeleng menolak ajakan Agatha.
“Kenapa?” tanya gadis bertubuh besar itu.
“Aku shalat di kamar aja. Males ke masjid, banyak yang usil.”
Aku kapok shalat di masjid. Tiap kali aku menginjak rumah Tuhan, ada saja yang menggodaku. Kebanyakan anak laki-laki dari asrama sebelah. Sementara itu, anak-anak perempuan dari asrama lain akan menatapku sambil berbisik-bisik. Biasa, mereka tukang gosip. Mereka mempertanyakan kenapa diriku yang cantik dan bermata biru pergi ke masjid. Dikiranya aku salah asuk rumah Tuhan.
Tuh kan, kalian sudah tahu bagaimana sikap anak-anak di sini? Mereka usil. Mereka tak suka melihat orang cantik. Sebal, sebal, sebal! Aku ingin kabur! Tapi kabur kemana?
Satu per satu temanku meninggalkan kamar. Kini hanya aku dan Mei yang tetap tinggal. Di antara sesama penghuni kamar, kuanggap Mei yang paling waras. Dia setahun di bawahku. Tetapi dia tidak senakal anak-anak perempuan lainnya. Mei tidak pernah menyembunyikan sandalku, mengolok-olokku saat makan malam, menirukan caraku berbicara, dan menggeledah lemari pakaianku. Dengan senang hati, aku mengajarinya materi pelajaran yang tidak ia mengerti.
“Kamu mau shalat? Aku keluar dulu ya.” pamit Mei.
“Jangan...” cegahku seraya menarik tangannya.
Mata sipit Mei beradu dengan mata biruku. Wajah putihnya dihiasi ekspresi bingung.
“Temenin aku, Mei. Aku takut sendirian.”
Ia mengangguk. Kembali duduk di tempat tidurnya. Walaupun benci keramaian, sebenarnya aku takut sendirian. Aku lebih suka ditemani satu-dua orang asalkan mereka baik padaku.
Aku shalat Maghrib. Sekilas kulirik Mei tengah membaca paritta. Ah, indahnya. Kami beribadah bersama, di ruangan yang sama, tetapi dengan cara berbeda.
Selesai shalat, aku mengobrol dengan Mei. Dia membesarkan hatiku. Mei senasib denganku. Bisnis keluarganya bangkrut. Tak kuat membesarkan banyak anak, Mei dibuang ke panti sosial berasrama ini.
“Kamu cantik, Sivia. Mereka bully kamu karena iri. Di asrama ini nggak ada yang secantik kamu.” Mei menjelaskan alasan banyak penghuni asrama membullyku.