Kantin di gedung perkantoran itu selalu ramai. Menunya beragam, mulai dari camilan ringan sampai makanan berat. Mulai dari kue basah sampai kering. Harganya pun murah.
Minuman di kantin ini bervariasi. Katakan saja apa yang kalian cari. Kemungkinan besar selalu ada. Tiga buah kulkas besar yang berderet di sepanjang dinding sebelah kanan memajang minuman kaleng berbagai merk. Beberapa blender besar di dapur kantin siap menyajikan jus buah dan bermacam minuman segar lainnya. Mau minuman hangat pun ada. Gabriel, penjaga kantin serba bisa itu, akan memanjakan kalian dengan kopi, teh, coklat, susu, dan jahe hangat buatannya.
Tapi, malam ini Gabriel sedang resah. Sebentar-sebentar dia melirik jam tangan murah tak bermerk yang melilit pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah merayap mendekati Isya. Sahabat-sahabatnya belum juga datang.
“Mas, pesan jus mangga ya. Nggak pakai lama.”
Seorang ibu paruh baya berseragam putih mendekat. Nada suaranya tegas. Pandangan matanya setajam mata elang.
Gabriel makin gelisah. Jemarinya memegang-megang saku celana, tempat tiga buah mangga segar tersembunyi. Bagaimana ini? Mangga yang tersedia tinggal tiga buah. Menyesal juga tadi pagi dia kurang kontrol. Mestinya dia berbelanja mangga lebih banyak lagi.
Bukan kali pertama Gabriel menyembunyikan buah mangga dan menolak request pembeli. Sengaja dia menyisakan buah mangga untuk salah satu sahabatnya. Sahabatnya penggemar buah bernama latin Mangifera indica itu.
Sesaat Gabriel bimbang. Haruskah dia membuatkan pesanan si pembeli? Kalau diperhatikan dari tampangnya, pembeli satu ini nampak galak. Dia bisa mengadukan Gabriel ke pemilik kantin. Namun, buah mangga yang tersisa...?
“Nggak apa-apa, Gabriel. Jus mangganya buat ibu ini aja.”
Suara sopran itu membangunkannya. Sesosok wanita cantik mendekati umur tiga puluh dan berambut pendek menyeruak. Dia melempar senyum manis.
“Beneran, Arini? Kalo kamu kepingin jus mangga gimana?”
“Nnggak apa-apa kok. Kalo aku pengen minum jus mangga, ya tinggal beli di tempat lain. Gampang toh?”
Kebimbangan Gabriel buyar. Ia bergegas ke dapur. Membuatkan jus mangga untuk si pembeli berwajah keras.
Arini baik sekali, Gabriel membatin senang. Puji Tuhan, aku bersahabat dengannnya.
Menjelang pukul tujuh, keenam sahabat yang lain tiba. Mereka datang tepat ketika kantin agak sepi. Gabriel tersenyum hangat menyambut mereka.
“Sorry, lama ya? Tadi kami shalat dulu.” kata Alea.
“Nggak kok. Santai aja. Sana, duduk dulu. Arini udah dateng. Kalian mau pesan apa?”
“Aku nggak mau makan.” tolak Silvi, mata biru pucatnya meredup. Entah karena lelah atau karena mengantuk.
Sebelah alis Gabriel, Calvin, dan Alea terangkat. Mereka melempar pandang penuh tanya pada bungsu Tendean itu. Alih-alih Silvi, Revanlah yang menjawab.
“Biasa, kayak nggak kenal adikku. Dia pencemas tingkat akut. Sejak demo mahasiswa menentang rancangan undang-undang terbaru dan pelemahan lembaga antikorupsi, dia tambah stress.”
Silvi tertunduk. Satu tangannya memainkan rambut pirang Revan. Ekspresinya menyiratkan kecemasan luar biasa. Calvin mengelus sayang rambut Silvi.
“Stress bukan berarti nggak makan...ayo makan, Silvi. Biar kamu nggak sakit.”
Cemburukah Alea melihat kelakuan suaminya? Sama sekali tidak. Dia malah tersenyum, bangga karena Calvin begitu penyayang.
“Silvi makan ya? Aku buatin nasi goreng paling enak.” Gabriel menawari.
“Nggak ada daging babinya, kan?”
Gabriel mendesah tak sabar. Sahabatnya yang satu ini keseringan berpikir negatif.
“Ya nggaklah. Mana ada daging babi di sini? Bisa-bisa aku dipecat si bos.”
Ucapan Gabriel disahuti helaan napas lega Silvi. Sahabat perempuan mereka yang paling rapuh itu melangkah pelan ke meja. Sambil memasak nasi goreng, Gabriel geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir dengan penyakit cemas tingkat akut yang diidap sobat Manado Borgonya itu.
“Nggak usah diambil hati, Gabriel. Buatin aku soto ayam ya. Kamu mau kan, Adica?” hibur Asyifa.
Adica, pria dingin di samping Asyifa, mengangguk tanpa kata. Syifa menggamit lengan Adica ke meja yang telah ditempati sahabat-sahabat mereka.
Katakanlah ini persahabatan lintas generasi, etnis, iman, dan kelas sosial. Gabriel satu-satunya yang Katolik di antara mereka. Ketujuh sahabat lainnya pengikut Prophet Muhammad. Di antara mereka, Calvin dan Alealah yang paling kaya. Usia mereka terbilang senior di tengah kumpulan sahabat yang lebih muda. Adica, Ice Prince itu, sobat terdingin dan irit bicara. Dia diimbangi Asyifa, putri seorang dokter yang resmi menjadi kekasihnya. Arini, si penulis cantik blasteran Jawa-Arab-Dayak itu, makin melengkapi keragaman di antara mereka. Bagaimana bisa persahabatan dengan warna-warni perbedaan itu terbentuk? Hobi yang sama menjadi pemicunya. Mereka berdelapan sama-sama pecinta literasi.
“Hmmmm...liat Gabriel masak, aku jadi pengen masak juga. Aku bantu ya.” Calvin hendak berdiri, namun Alea dan Silvi mencekal lengannya.