Raungan sirine memekakkan telingaku. Aku terbangun kaget. Gawat, aku terlambat! Bahkan aku tidak shalat Subuh!
Kemana saja semua orang di asrama ini?
Kenapa tidak ada yang membangunkanku?
Tergesa kuraih handuk. Aku berlari ke kamar mandi. Tak sengaja aku menabrak pintu. Benda kayu berwarna hitam itu menghantam dahiku. Membuat keningku yang mulus berdenyut.
Kamar mandi kosong. Berarti, seisi asrama sudah mandi. Cepat-cepat aku bilas tubuhku. Bangun kesiangan ternyata lumayan juga. Aku tidak perlu berebut kamar mandi dengan penghuni asrama yang menyebalkan.
Agatha, Mei, dan anak-anak lain...dimana mereka? Kemana bapak asuh? Kenapa aku ditinggalkan sendiri?
Sesaat aku merasa sedih. Apakah mereka meninggalkanku karena aku berbeda dari yang lain? Mei saja membiarkanku sendiri.
Kusisir rambutku asal-asalan. Tanpa semangat, kugendong tas sekolahku. Kakiku terayun menuju ruang makan.
Keriuhan menyergap telingaku. Kalian tahu apa yang kudapati? Seisi asrama sedang sarapan bersama. Mereka menganggapku tidak ada. Hanya Mei yang menoleh menatapku.
“Mei...maaf ya.” sesalnya.
Aku melengos. Menyodorkan piring kosongku ke arah bapak asuh. Laki-laki berkaus merah itu biasa mengambilkan makanan untuk anak-anak asrama di bawah sepuluh tahun. Tanpa bicara, dia menyendokkan nasi ke piringku. Dua potong tempe dan sepotong tahu ia letakkan di samping gunungan nasi. Aku menarik kembali piringku tanpa bilang terima kasih.
“Kenapa telat bangun, Sivia?” tanya bapak asuh dengan nada menyelidik.
“Aku nggak bisa...”
“Aku?”
Semua mata di meja makan mengarah padaku. Aku gugup bercampur malu. Lagi-lagi aku salah bicara.
“Ya terus...? Aku kenapa?” tanya bapak asuh lagi, nadanya menyindir.
“Sa...saya nggak bisa tidur.” kataku terbata.
“Kamu tidur seperti patung batu.” ejek Agatha.
Aku diam saja. Kedua tanganku terkepal di pangkuan. Selera makanku hilang.
“Hanya sirine pertama yang membangunkanmu.”
“Kamu tidur ditempeli setan. Azan Subuh saja tidak membangunkan tidrmu.”
Sontak seisi meja tertawa. Hanya Mei yang tetap diam. Kali ini, aku berterima kasih padanya.
Kukunyah sarapanku seperti mengunyah ampas. Demi Nabi Yusuf yang ketampanannya hanya sepertiga ketampanan Nabi Muhammad, aku ingin cepat berlalu dari neraka ini. Dengan nasi tersisa setengah sendok, kubuang sisa sarapanku ke tempat sampah. Kucuci piringku, dan aku bergegas kabur.
Aku berjalan sendirian, sendirian, dan sendirian. Lalu-lalang penghuni asrama lain tak banyakgunanya. Tak ada yang peduli padaku. Kuayun langkahku menyusuri jalan beraspal.
Sekolah negeri itu kumasuki. Halamannya dipenuhi siswa-siswi yang asyik bermain sebelum jam pelajaran. Ada yang bermain ayunan, perosotan, ular tangga, jungkat-jungkit, dan ada pula yang bermain game di ponsel mereka. Ah, ponsel pintar. Inginku memilikinya.
Aku tak punya teman bermain. Kumasuki kelasku. Ruangan itu nyaris penuh. Aku berjalan ke bangku paling belakang. Di sanalah tempat dudukku.
Baru saja aku duduk...
Benda lengket apa ini? Hatiku mencelos. Ya, Tuhan, ada benda lengket menempel di rok putihku! Aku tidak bisa berdiri dari bangku!
Kutaburkan pandangan ke seluruh kelas. Tak ada yang mau membantuku. Baiklah, harus kuselesaikan sendiri.
Sekuat tenaga kutarik benda lengket itu. Sekali, dua kali, tiga kali. Benda itu terlepas juga. Kubolak-balikkan benda lengket itu. Aku tersentak kaget.
“Permen karet...!” seruku tertahan.
Siapa yang meletakkan permen karet di bangkuku?
Siapakah yang sengaja melakukannya?
Apakah mereka ingin melihatku tidak punya rok seragam sekolah lagi?
Aku tidak ingin menuduh. Hanya saja, hal ini sudah sering terjadi. Anak-anak sekelas menjahiliku dengan berbagai cara. Permen karet ini salah satunya.
Ya, Tuhan, tolong aku. Bagaimana kalau aku harus berdiri? Pasti aku ditertawakan saat mereka melihat bagian belakang rokku.
Andai saja aku boleh memilih. Aku tak ingin bersekolah di sekolah negeri. Masa TK kulewati di sekolah swasta. Murid-muridnya keturunan Tionghoa, Arab, India, dan Eropa. Ada yang beragama Islam, Buddha, dan Katolik. Kami semua berbaur. Kami saling mengasihi. Beda sekali dengan di sekolah negeri. Anak-anaknya sama semua. Di sini kami hanya disuruh mendapat nilai yang sesuai dengan standar minimal. Kami tidak diajari bagaimana menghargai teman, menyayangi orang lain, dan menolong orang. Nilai, nilai, dan nilai. Hanya itu yang dipaksakan guru kami.
Bel masuk berbunyi. Kuikuti pelajaran dengan murung. Pelajaran Bahasa Indonesia tak sedikit pun masuk ke otakku. Padahal aku suka pelajaran itu.
**
Sepulang sekolah, hatiku remuk. Seisi asrama menertawakanku. Mereka menertawakan rok putihku yang kotor. Bukannya ikut sedih, mereka senang karena ada yang mengotori rokku dengan permen karet.
Puas menertawakanku, sebagian anak asrama tidur siang. Aku berlutut di lantai kamar mandi. Tanganku bergetarr saat menyikat rok putihku. Mau bagaimana lagi? Kalau tidak dicuci sekarang, bisa kewalahan aku.
Pikiranku melayang. Andai saja Mama dan Papa masih ada. Andaikan ‘Ayah’ datang ke sini. Aku melamun dan terus melamun.
Terus saja mengkhayal, batinku meledek. Mana ada yang mau peduli dengan anak yatim-piatu? Ayah dan ibu mana pun akan lebih sayang pada anak kandungnya sendiri. Aku, yang tidak berharga ini, memang layak untuk ditinggalkan.
Susah payah kutahan air mata. Menyedihkan sekali nasibku. Kuadukan pada Tuhan. Kutanyakan padanya tentang kelamnya buku hidupku.