Aku terbangun dengan kondisi yang masih merasakan mual yang luar biasa. Tapi ketika aku membuka mata, di sampingku sudah ada Mas Arman yang tersenyum sangat manis sambil memegang tanganku dan mengelus lembut wajahku.
"Kamu sudah bangun, cintaku?" Tanyanya dengan senyum yang selalu membuatku tersihir dan terpesona.
Kepalaku masih pusing, dan ia segera memberiku air hangat juga sekuntum mawar yang sangat indah
"Maafin aku, ya? Aku pikir kamu bohong sama aku soal pusing dan mual yang kamu rasakan. Soalnya kata Mama dan Uti waktu hamil dulu kondisi mereka nggak kayak kamu." Kata Mas Arman membuat mood ku seketika menjadi jelek.
"Kondisi setiap perempuan yang hamil kan beda-beda, Mas. Nggak bisa disamain. Kalo kondisiku sekarang benar-benar nggak kuat untuk sekedar bangun. Kepalaku pusing, dan perutku selalu mual." Kataku menjelaskan padanya.
Ia hanya mengangguk, dan setelahnya ia begitu memanjakanku dengan menghujaniku ciuman dan kata-kata yang melenakan.
Namun di hari-hari berikutnya, proses kehamilan yang kulalui tidak selalu indah seperti apa yang aku harapkan. Selalu ada saja tingkah Mas Arman yang membuatku menangis, namun ia pula yang menyeka air mataku dengan permintaan maafnya berulang kali.
Dan seperti perempuan hamil pada umumnya, perubahan demi perubahan terjadi pada diriku. Wajah yang berjerawat dan tubuh yang semakin berisi ternyata membuat Mas Arman mendadak tidak menyukaiku.
"Sejak hamil, aku lihat aura wajahmu jadi menghilang gitu, sih? Jadi nggak secantik dulu. Gendut lagi. Aku jadi males liat kamu." Katanya suatu hari saat aku terbangun dari tidur dan ia langsung menikamku dengan perkataan yang menyakitkan seperti itu.
Sejak hari itu, sikap Mas Arman betul-betul berubah menjadi lebih dingin dan jadi menjauh dariku. Dia bilang aku jelek, sudah tidak menarik sejak hamil, dan dia mulai tidur di sofa sejak ia memberi alasan kalau aku mendengkur terlalu keras saat tidur. Padahal yang selama ini tidur mendengkur adalah dirinya, bukan aku. Tapi apapun bisa menjadi alasan untuknya saat ia tidak menyukai sesuatu dalam diriku.
Aku merasa kesepian. Aku tidak memiliki siapapun di Jakarta selain ia dan keluarganya. Aku tidak memiliki teman yang dekat di sini karena selama aku pindah ke Jakarta, Mas Arman tidak memperbolehkanku keluar rumah kecuali bersamanya.
Kondisi yang lemah karena hamil muda, sikap Mas Arman yang dingin, serta rasa sepi yang mendera membuat kehamilanku tidak seindah yang kubayangkan.
* * *
Saat kandunganku memasuki usia delapan minggu, Mas Arman mengajakku pindah ke sebuah rumah kontrakan. Alasan kami pindah katanya supaya kami bisa lebih mandiri dan tidak bergantung pada orang tuanya. Padahal selama kami menikah, semua urusan rumah tangga ia serahkan pada Mamanya. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengelola uang darinya.
"Kenapa kita pindahnya tiba-tiba sekali, Mas?" Tanyaku saat ia memberitahu kalau kami akan pindah.