Bagi sebagian perempuan, hormon kehamilan di usia muda biasanya memberi rasa yang kurang nyaman. Dan itu aku rasakan di awal-awal trimester kehamilanku. Aku mual, selalu pusing, lemah, dan tidak berdaya. Tapi Mas Arman jarang sekali mau mengerti keadaanku. Ia selalu memintaku untuk merapikan rumah, memasak, dan bergerak. Intinya dia sangat tidak suka bila melihatku hanya tidur seharian tanpa melakukan aktivitas apapun. Padahal aku tidak pernah mengada-ngada tentang kondisiku.
Dan selayaknya orang hamil pada umumnya, kondisi fisikku perlahan berubah, terutama pada bentuk perut dan tubuhku yang semakin membesar di beberapa bagian.
"Kamu jelek banget sih, dekil lagi. Bosen banget aku liat penampilan kamu yang kayak sekarang ini." Ejek Mas Arman yang sering kali kudengar menyakiti hatiku.
Aku hanya bisa menangis dalam diam tanpa mampu membalas perkataan menyakitkannya padaku, kecuali jika aku tahan dicap istri pembantah seharian.
Tapi terkadang aku tak tahan juga selalu diejek dan direndahkan olehnya hingga akhirnya ia pernah mendapatiku menangis sendirian di kamar, dan ia tiba-tiba menghampiriku dengan memasang 'topeng' manis di wajahnya.
"Sayang, maafin aku ya? Aku benar-benar nggak ada maksud buat nyakitin kamu dan bayi kita." Katanya lembut sambil berlutut dan menghapus air mataku.
Tapi saat itu hatiku sudah terlanjur sakit dan menganggap kalau permintaan maaf Mas Arman hanya formalitas seperti biasanya, hingga akhirnya aku hanya diam tanpa menyahuti perkataannya.
"Sayang, demi Allah, aku nggak ada maksud buat nyakitin kamu. Aku sayang kamu. Aku sayang bayi kita. Jangan diem aja. Kamu mau kan maafin aku?" Mas Arman masih terus saja berusaha untuk mendapatkan permintaan maaf dariku. Dan aku? Entah mengapa seperti biasa selalu luluh pada kata-kata dan rayuan mautnya.
"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi tolong, hargai juga perasaanku sebagai istrimu. Aku sedang mengandung anakmu. Buah cinta kita." Kataku sambil berlinang air mata. Ia kemudian mengangguk dan menyeka air mataku.
Kupikir hubungan kami sudah kembali baik, tapi keesokan harinya saat ia baru saja pulang dari toko, tiba-tiba saja Mas Arman melempar sepatunya sambil meracau menyinggung diriku.
"Di toko capek, sampe rumah malah liat istri kusam, kucel, dekil, nggak bisa ngerawat tubuh sama sekali. Jijik banget aku liatnya." Katanya tanpa mau menatap wajahku.
Aku sakit hati sekali mendengar ejekannya. Padahal aku sudah berusaha membersihkan diri sebelum ia pulang. Tapi entah kenapa ia selalu mengatakan hal - hal buruk tentangku. Suasana hatinya sangat tidak bisa kutebak sama sekali. Kemarin ia meminta maaf padaku dengan sangat manis, tapi hari ini ia kembali memakiku dan merendahkanku.
"Aku nggak mau tidur sekamar denganmu. Jijik." Katanya lagi yang membuatku semakin merasa sakit hati. Padahal kondisiku begini karena aku sedang mengandung anaknya. Benih darinya yang ia tanamkan dalam rahimku. Ya Allah tega sekali suamiku sendiri mengatakan hal menyakitkan itu padaku.
Sejak hari itu, Mas Arman setiap hari selalu pulang malam tanpa alasan yang jelas. Terkadang hari Minggu yang seharusnya ia libur dan berada di rumah menemaniku pun ia gunakan hari itu untuk keluar seharian.
"Kamu kemana aja sih, Mas? Setiap hari selalu pulang larut malam, dan hari Minggu pun yang seharusnya kamu habiskan waktumu bersamaku, malah kamu pakai keluar seharian. Aku bosan di rumah aja, Mas. Aku kesepian. Aku juga ingin kamu ajak jalan-jalan keluar." Kataku saat Mas Arman baru saja sampai rumah pukul 12 malam.
"Aku keluar untuk cari udara segar. Males aku di rumah liat kamu di rumah cuma bisa tiduran aja." Jawabnya membuatku betul-betul sakit hati. "Lagian mana mau aku ngajak kamu jalan keluar. Udah gemuk, dekil, nggak bisa ngerawat diri. Malulah aku nanti kalo istriku dijadiin bahan tertawaan orang." Lanjut Mas Arman makin menambah-nambah rasa sakit hatiku.