Pagi ini Mas Arman membawakan sarapan untukku ke kamar dengan sangat manis, padahal semalam ia baru saja menampar pipiku hingga panas. Aku betul-betul bingung dibuatnya.
"Maafkan aku soal yang semalam, ya? Semalam aku betul-betul nggak bisa kontrol emosiku." Kata Mas Arman sambil menyelipkan rambut di belakang telingaku.
Hmm, memang sejak kapan ia mampu mengontrol emosinya? Sejak kami menikah pun, saat sesuatu mengganggu hati dan kenyamanannya, emosinya pasti meledak melahirkan amarah demi amarah yang tidak terbendung. Dan sekarang dia bilang, semalam dia tidak bisa mengontrol emosinya? Klise sekali alasan atas permintaan maafnya.
Tapi aku tetap memaafkannya karena paling enggan berdebat mulut dengannya. Sifatnya yang pemarah dan tidak pernah mau mengalah selalu menbuatku malas untuk beradu argumen dengannya. Melihatnya sudah berubah menjadi lebih manis saja, itu sudah lebih dari cukup buatku.
Hari-hari selanjutnya selama masa kehamilanku dipenuhi oleh naik turun emosiku yang dibuat oleh Mas Arman. Sikapnya benar-benar tidak pernah bisa kutebak. Hari ini manis, keesokannya bisa jadi ia sangat galak dan buas. Pagi tadi bisa jadi ia sangat marah karena aku bangun kesiangan, tapi beberapa jam kemudian ia bisa menjadi sangat manis dan membawakanku sekuntum bunga. Ah, aku tidak pernah tenang dibuatnya. Semoga bayiku tidak merasakan hal yang sama dengan yang ibunya rasakan terhadap ayahnya.
Tetapi Mas Arman mengatakan padaku kalau sikapnya yang seperti ini hanya untuk sementara saja, hanya selama aku hamil saja. Karena ia memang membenci perempuan yang dekil, kumal, gendut, dan seakan tidak mampu merawat diri, makanya aku semakin tidak sabar untuk segera melahirkan dan akan melakukan diet ketat untuk mengembalikan lagi kerampingan perutku dan juga tubuh idealku. Aku sudah tidak sabar ingin segera melakukan perawatan wajah dan tubuhku supaya Mas Arman bisa kembali mencintaiku seperti dulu.
Selama hamil, aku ingin sekali makan buah semangka. Aku pernah menyampaikan keinginanku ini pada Mas Arman, tapi entah lupa atau dia memang tidak mau membelikanku buah itu, makanya selama 8 bulan aku mengandung bayinya, aku hanya memendam keinginanku itu dalam hati.
"Mas Arman, bawa buah semangka titipanku?" Tanyaku suatu hari saat ia baru saja pulang dari toko.
"Nggak." Jawabnya singkat sambil melepas sepatu dan meletakkannya sembarangan di mana saja ia suka. Padahal ia paling tidak suka kalau rumah kotor dan berantakan, tapi ia sendiri yang selalu membuat rumah berantakan dengan tidak meletakkan barang-barangnya pada tempatnya. Dan pasti aku yang harus selalu merapikannya kembali. Kalau tidak, ia akan marah.
"Semangka mahal. Sejak lama harganya belum turun-turun. Beli saja yang lain." Sambungnya lalu meluyur masuk ke kamar mandi tanpa melihatku.
Padahal berkali-kali aku selalu minta padanya supaya bawakan aku buah semangka setelah ia pulang dari toko, tapi ia sama sekali tidak pernah memberiku kesempatan untuk mencicipi buah kesukaanku itu.
Selama menikahpun, Mas Arman tidak pernah sekalipun memberiku uang cash. Jangankan uang pegangan, jatah uang bulanan pun ia tidak pernah memberinya padaku. Semua uang dan keperluan rumah tangga ia yang atur. Dari uang listrik, bayar kontrakan, iuran kebersihan, sampai belanja bulanan dan kebutuhan memasak pun ia yang atur. Katanya kalau aku butuh apa-apa tinggal minta padanya. Kalau ia setuju, baru beli. Tapi kalau tidak, siap-siap aku gigit jari. Seperti perkara semangka ini.