Proses kehamilanku selama hampir 40 minggu ini memang kerap membuatku hampir gila menghadapi sikap Mas Arman yang sulit kutebak. Namun bayangan akan pertemuan yang indah dengan putri kecilku melenyapkan semua rasa sedih dan sakit hati yang selama ini kurasakan akibat perlakuan Mas Arman terhadapku.
Aku semakin tidak sabar ingin bertemu bayiku saat kontraksi pertama mulai kurasakan. Aku yakin sebentar lagi bayiku akan lahir. Aku juga sudah tidak sabar ingin diet ketat supaya perutku kembali rata dan Mas Arman bisa kembali mencintaiku.
Tapi kelahiran yang kuharapkan tidak kunjung tiba waktunya. Sudah lebih dari 24 jam aku kontraksi, tapi bayi cantikku belum memberi tanda-tanda akan keluar.
Aku mengaduh dan beristighfar saat kontraksi semakin kencang kurasakan. Hingga akhirnya hampir 36 jam perutku rasanya diaduk-aduk akibat kontraksi yang tak kunjung henti, bayiku akhirnya mengajakku untuk mengejan.
Aku sudah berada di ruang bersalin dan Mas Arman juga senantiasa mendampingiku sejak dokter sudah tidak memperbolehkanku pulang dari rumah sakit. Beberapa kali aku mengejan cukup kencang karena bayiku belum juga menemukan jalan lahirnya. Kata dokter, karena ini lahiran anak pertamaku, maka pintu jalan lahirnya masih cukup sulit untuk dilewati, hingga tibalah saat malaikat kecilku sudah terlihat ujung kepalanya, aku kembali mengejan dengan kuat. Ia pun keluar, namun ternyata aku mengalami luka robekan yang luar biasa dari depan hingga belakang saat melakukan pengejanan terakhir itu.
Aku kehilangan 2 liter darah di tubuhku. Dan setelah proses melahirkan selesai, aku langsung masuk ke ruang operasi untuk melakukan operasi hematom sebesar buah jeruk.
Saat proses kelahiran yang melelahkan dan menyakitkan itu, Mas Arman memang selalu ada di sampingku. Ia begitu supportif dan mendukungku secara penuh. Memberiku afirmasi positif, sentuhan cinta, dan kecupan yang menguatkanku. Aku yakin setelah bayiku lahir, sikap buruknya selama ini akan berubah, dan ia pasti akan menjadi ayah yang baik untuk anak kami, Aisyah. Demikian kami memberinya nama.
Usai keluar dari ruang operasi, Mas Arman langsung menyuruhku untuk menyusui Aisyah.
"Cepat susui anakmu! Dari tadi dia nangis terus. Bikin aku pusing." Katanya mendengkus kesal. Aku pun langsung menggendong Aisyah dan berusaha untuk menyusuinya. Tapi air susuku belum keluar juga, sementara Aisyah masih terus menangis.
Aku terus berusaha meski hasilnya nihil. Mas Arman marah padaku karena air susuku belum keluar juga. Aku jadi semakin stres. Aisyah yang menangis tanpa henti, ditambah kemarahan Mas Arman karena air susuku tak kunjung keluar membuatku tidak bisa istirahat di rumah sakit. Aku betul-betul frustasi.
Tiga hari aku di rumah sakit dan aku benar-benar kurang tidur karena terus mengusahakan ASIku agar cepat keluar. Untunglah sebelum pulang dari rumah sakit, perlahan ASIku mulai keluar dan akhirnya Aisyah bisa mendapatkan hak pertamanya sebagai seorang bayi.
Beruntung semua biaya persalinan dan operasi ditanggung BPJS Kesehatan karena sejak awal kehamilan, aku sudah mengurus semuanya untuk berjaga-jaga. Jadi Mas Arman tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak karena aku tahu dia pasti tidak memiliki tabungan yang cukup untuk biaya melahirkan anak kami.
Uang dari Papanya hasil jaga toko hanya tiga juta rupiah saja. Untuk bayar kontrakan, makan dan kebutuhan sehari-hari saja masih sangat minim, belum lagi jajan Mas Arman setiap hari. Mana mungkin ia memiliki tabungan lebih. Untungnya masih ada uang dari Bapak yang kusimpan di rekeningnya. Bisa kami gunakan sewaktu - waktu bila ada kebutuhan mendesak.
Dokter sudah memperbolehkan aku pulang. Dan Mas Arman lebih memilih hanya membawa bayi kami naik ke atas kontrakan ketimbang harus berjalan perlahan sambil menuntun langkahku yang masih lemas dan kesakitan.
"Ayo cepetan! Lelet banget sih. Aisyah udah nangis nih." Katanya dari atas dan hanya diam saja saat melihatku meringis kesakitan.
"Mas, bisa bantu aku naik ke atas? Aku kesakitan." Pintaku sambil menahan nyeri jahitan di bagian bawahku.
Mas Arman pun membuang nafas kasar sambil kembali menuruni anak tangga.
"Ayo cepetan! Manja banget." Katanya sambil menarik tanganku dengan kasar.