Tekanan demi tekanan yang kuterima dari Mas Arman, juga rasa letih sebagai seorang ibu baru membuatku jadi kehilangan rasa pada semuanya.
Aku tidak merasakan apapun dalam hidupku. Tidak ada sakit hati, tidak juga marah pada Mas Arman dan keadaan yang membuatku seperti ini. Bahkan tidak ada cinta. Semua kurasakan hampa.
Cinta untuk Aisyah pun begitu saja menguar bagai uap di udara. Ketika dia menangis aku malah tutup kuping dan aku benci sekali mendengarnya. Aku hanya memandanginya dan berkata pada diriku sendiri.
"Oh, mungkin Aisyah lapar." Kataku sendiri, tapi aku tak juga beranjak mengambil dan menggendongnya untuk menenangkan bayiku.
Berjam-jam kuhabiskan waktuku hanya untuk melamun. Dan setelahnya kuangkat tubuh bayiku kemudian kususui ia. Aisyah menyusu begitu lahap, tapi perasaanku hampa. Aku seperti tak merasakan kasih sayang apapun dan cinta terhadapnya seperti di awal aku melahirkannya ke dunia ini.
Aku banyak menghabiskan hariku hanya untuk melamun saja. Hanya ada air mata yang jatuh begitu saja membasahi pipiku. Aku merasa seperti orang gila kala itu. Sepi dan sendiri, kurasakan duniaku perlahan berubah kelam.
Mas Arman pergi ke toko setiap pagi, lalu pulang di sore hari hanya untuk mandi dan berganti pakaian, kemudian lanjut bermain futsal dengan teman - temannya. Malam hari ia kembali, namun kehadirannya di rumah nyatanya lebih sering hanya untuk mengeluh dan memarahiku.
Pernah ia mengajakku pergi ke klinik karena kondisiku benar-benar sedang tidak baik kala itu. Dokter yang menanganiku bilang kalau kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Mas Arman diminta oleh dokter untuk selalu mendampingiku dalam merawat Aisyah, dan seperti biasa, di hadapan orang lain ia pun mengiyakan hal itu dengan sangat meyakinkan. Tapi kenyataannya, anggukan itu hanyalah kamuflase agar ia tetap terlihat baik sebagai seorang suami di hadapan siapapun.
"Ma, datanglah ke rumahku. Rena keliatannya lagi nggak baik-baik aja." Kata Mas Arman suatu hari saat melihat aku hanya tidur seharian di kamar. Membiarkan Aisyah menangis lalu menyusuinya tanpa ada rasa cinta yang bisa kuberi untuk anak pertamaku.
Mas Arman marah, memaki, mengeluarkan sumpah serapahnya padaku, tapi aku terlihat biasa saja. Tidak melawan, tidak juga menangis. Aku hanya diam, tapi air mataku selalu meleleh tanpa kuminta.
Mama mertuaku datang mengunjungi kami, tapi bukannya sebuah kehangatan dan kenyamanan yang kuterima, ia malah semakin menambah beban pikiran dan penderitaanku.
"Aisyah tuh nangis kenceng kayak gitu, itu karena air susu kamu sudah basi, Rena." Kata Mama mertuaku memandangku dengan tatapan sinis.