Mas Arman tidak mengantarku pulang ke Cirebon karena dia masih harus menjaga toko. Dia hanya mengantarku sampai ke stasiun kereta dan selebihnya aku hanya berdua saja dengan Aisyah di kereta.
Perjalanan menuju ke Cirebon kami tempuh kurang lebih selama 3 jam 15 menit. Selama perjalanan, Aisyah sedikit rewel karena mungkin ini adalah perjalanan pertamanya dengan jarak tempuh yang cukup jauh.
Tapi semua rasa lelah dan letihku selama di kereta terbayar sudah ketika aku bertemu dengan Bapak dan Ibu. Aku begitu bahagia bisa memeluk tubuh mereka kembali dengan hangat.
Selama sehari semalam sejak aku tiba di Cirebon, aku tidak tidur dan kuceritakan semua kisah hidupku bersama Mas Arman di Jakarta. Ibuku sedih sekali mendengar putri kecilnya diperlukan seperti itu oleh suaminya sendiri.
"Tapi jujur, Ibu masih percaya nggak percaya loh Ren, kalo Arman sampai tega melakukan hal itu ke kamu." Kata Ibu saat aku selesai menceritakan semuanya.
"Padahal mukanya Arman itu keliatannya baik banget, loh. Nggak ada tampang- tampang galak atau kasar ke orang." Ibu sampai geleng-geleng kepala karena tidak percaya kalau Mas Arman memang seperti itu memperlakukanku sebagai istrinya.
Jika Ibu bisa dan mampu, katanya dia ingin sekali aku berpisah dengan Mas Arman, tapi ada banyak pertimbangan yang membuatnya tidak mengharapkan hal itu sampai terjadi.
"Aisyah tuh masih kecil, Ren. Kasihan kalau sampai kamu dan Arman berpisah. Lagipula kalau kalian sampai cerai, lalu siapa yang akan menghidupi kamu dan Aisyah? Kamu liat sendiri kan hidup Bapak dan Ibu di kampung sudah susah. Panen selalu gagal, dan seringkali kami nggak sanggup beli beras karena hasil panennya nggak ada yang bisa dijual." Kata Ibu membuatku ikut bersedih dan menyesal karena telah menceritakan semua padanya.
Aku tahu Ibu juga tidak punya pilihan lain selain mengatakan padaku untuk sabar. Karena menerima pinangan Mas Arman sebagai suamiku adalah pilihanku sendiri, maka sudah sewajarnya aku harus menerima segala konsekwensinya.
Aku juga tahu Ibu pasti tidak terima kalau aku diperlakukan semena-mena seperti itu oleh Mas Arman, tapi memintaku untuk berpisah dengannya juga bukan sebuah pilihan untuknya. Beban hidup Ibu dan Bapak sudah cukup berat di kampung. Untuk cari makan saja susah, apalagi jika aku sampai berpisah dan ikut menambah beban mereka dengan tinggal di kampung.
"Tolong jangan ceritakan hal ini sama Bapakmu ya, Ren. Ibu takut Bapak nanti jadi kepikiran." Pesan Ibu yang langsung kujawab dengan anggukan.
Selama di kampung, banyak tetanggaku yang menanyakan keberadaan Mas Arman.
"Kenapa suamimu nggak ikut pulang kampung, Ren?" Tanya salah satu tetangga padaku.
"Iya, Bu. Mas Arman nggak bisa ninggalin kerjaannya." Jawabku tak mau berpanjang kata.
"Hebat loh kamu Ren, bisa nikah sama laki-laki Jakarta. Udah ganteng, cakep, baik lagi. Kalo ada lagi yang kayak suamimu satuu aja, boleh ya buat anak saya." Ibu itu terkekeh pelan. Sementara aku hanya tersenyum getir.
Dulu, waktu Mas Arman baru pertama kali main ke kampungku, dia memang sudah menarik perhatian banyak warga. Apalagi saat mereka tahu kalau Mas Arman akan menikahiku, banyak dari mereka yang iri padaku.
Fisik Mas Arman memang bisa dikatakan charming. Dia tinggi, putih, kulitnya bersih dan ada sedikit jenggot tipis di wajahnya. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengatakan kalau suamiku itu tampan.