Hari itu, tiba-tiba Mas Arman bilang padaku kalau ia diterima kerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi. Karena memang background pendidikannya adalah di bidang tersebut, maka aku percaya saja.
"Sejak kapan kamu melamar kerja di sana?" Tanyaku sekedar ingin tahu.
"Pas kamu ke Cirebon, ada teman yang minta CV padaku. Beberapa hari kemudian aku dipanggil interview dan Alhamdulillaah keterima." Jelasnya terlihat seperti suami normal dan baik pada umumnya.
"Kamu nggak pernah cerita tentang hal ini ke aku?"
"Ya biar jadi kejutan aja kalo aku diterima." Jawabnya sedikit antusias.
Aku senang karena akhirnya Mas Arman bisa bekerja di tempat yang lebih layak dengan gaji yang lebih besar pastinya. Sebab penghasilannya dari toko hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami dalam beberapa hari saja, selebihnya kami sering dibantu oleh Yangkung dan Yangti Mas Arman.
Malu sebenarnya karena hidup kami masih dibantu, tapi mau bagaimana lagi. Aku sendiri tidak punya pilihan lain selain menerima bantuan keluarga Mas Arman, karena memang suamiku sendiri masih belum mampu menafkahi kami dengan layak.
Sejak aku kembali ke Jakarta, Yangkung dan Yangti Mas Arman sering sekali berkunjung ke kontrakan kecil kami bersama Mama dan Papa mertuaku. Mereka hanya ingin memastikan kalau hubunganku dan Mas Arman baik-baik saja.
Mereka takut pada Mas Arman. Mereka takut anak mereka marah. Mereka takut cucu kesayangan mereka tidak nyaman. Mereka betul-betul menjaga perasaan Mas Arman, tapi tidak satupun dari mereka yang bisa menjaga perasaanku.
Sejak aku menikah, sifatku berubah menjadi pendiam dan aku lebih suka memasang wajah murung. Bagaimana tidak? Setiap hari emosi dan perasaanku selalu dibuat naik turun oleh Mas Arman dan aku tidak pernah merasa tenang.
* * *
Hari itu kami pergi bertiga ke supermarket, tujuannya hanya untuk membeli beberapa kebutuhan rumah dan popok Asiyah yang sudah habis.
Di tengah keramaian, beberapa kali ada orang lain yang memperhatikan kami dan itu jelas membuat Mas Arman sangat marah padaku.
"Ngapain sih dia ngeliatin kamu? Dia mau menggoda kamu, ya? Atau jangan-jangan, kamu yang genit sama dia?" Tuduh Mas Arman setelah orang yang memperhatikan kami itu berlalu.
"Jangan mikir yang macem-macem, Mas. Fokus aja belanja." Kataku berusaha meluruskan pikiran Mas Arman.
Padahal kupikir wajar saja jika ada orang lain yang saling melihat dan melirik pengunjung satu sama lain, karena memang mereka punya indra penglihatan dan itu hak mereka. Tapi pikiran itu tidak berlaku untuk suamiku.
"Baju yang kamu pakai jelek, atau mungkin wajah kamu yang terlalu kusam jadi orang lain ngeliatin kamu." Ucap Mas Arman dengan tuduhan yang lain lagi padaku.