Selang beberapa pekan, Mas Arman pulang dengan membawakanku bunga mawar dan sebungkus cokelat. Ia mendatangiku dengan manis sekali.
"Ada apa, ini?" Batinku mulai bertanya-tanya.
Aku duduk di tepi tempat tidur sementara ia mendekatiku.
"Tadi siang, ada salah satu teman perempuanku di kantor yang mengusap bahuku dari atas sampai ke arah celana di ruang pemeliharaan. Kalau aku mau nurutin nafsuku, pasti kami sudah melakukannya. Tapi aku nggak mau." Dia bercerita cukup tenang, tapi tiba-tiba membuat darah dalam otakku seakan mendidih.
"Perempuan nggak akan kayak gitu kalau kamu nggak kasih sinyal, Mas." Ketusku menanggapi omongan Mas Arman.
"Lagian ngapain kalian berdua ada di ruang pemeliharaan?" Tanyaku merasa cemburu.
"Dia disuruh atasan untuk memperbaiki sesuatu di sana, tapi karena dia kurang paham, jadi dia minta bantuanku. Setelah selesai, dia bilang makasih sambil melakukan hal tadi ke aku. Karena aku nggak suka, jadi langsung aku tinggal." Jelas Mas Arman terdengar cukup natural.
Sejujurnya aku cemburu, tapi aku berusaha untuk tetap tenang dan terus mendengar ia berbicara.
"Besok aku mau pinjam mobil Papa aja deh buat pergi kerja. Kalo naik Transjakarta takut ketemu dia lagi, soalnya jam berangkat kerja aku sama dia sering barengan." Katanya coba memberi solusi sendiri atas dilema yang ia alami dengan teman perempuannya itu di kantor.
Keesokan malamnya Mas Arman kembali ke rumah tanpa makian dan omelan yang biasa ia lontarkan padaku dan Aisyah. Malam ini ia bersikap manis sekali padaku.
Karena Aisyah sudah tidur, ia langsung memelukku setelah mandi dan berganti pakaian.
"Tumben Mas Arman bersikap kayak gini ke aku." Heranku dalam hati.
"Sayang, aku minta maaf ya. Kemarin itu jadinya aku berangkat kerja bareng dia pake mobil Papa." Katanya tiba-tiba membuatku sedikit syok.
"Kok bisa??"
"Iya, soalnya pas aku udah di jalan, dia telfon aku dan minta aku untuk jemput dia."
"Terus kamu mau aja gitu jemput dia?" Tanyaku dengan darah yang mulai mendidih.