Selepas Mas Arman pergi, aku masih tergeletak di lantai kamar tidurku. Kepalaku pusing. Aku terjatuh cukup kerasa tadi. Semoga bayi dalam kandunganku baik-baik saja.
Aku kemudian bangkit dan duduk di tepi ranjang.
"Mungkin aku memang istri yang jelek, ya? Buruk? Lagipula, Mas Arman kan hanya korban masa kecil dari orang tuanya. Aku tau sebetulnya dia baik dan cinta padaku. Harusnya aku bersyukur karena Mas Arman masih mau menjauhi zina dan berkata jujur padaku. Seharusnya aku juga bisa lebih percaya padanya, bukan malah mencurigainya terus dan menuduhnya yang bukan-bukan." Pikiranku mulai menggiring hatiku untuk menormalkan semua perlakuan Mas Arman padaku.
Sore harinya Mas Arman pulang lebih awal.
"Maafkan tindakanku tadi pagi, ya?" Mas Arman datang dan mengecup keningku yang kala itu tengah menemani Aisyah bermain. Hatiku sedikit lega dan tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipiku.
"Jangan nangis. Kita makan di luar, yuk? Ada hal yang mau aku bicarakan. Aisyah biar titip di rumah Mama dulu aja. Ayo siap-siap." Perintah Mas Arman langsung segera aku laksanakan. Pokoknya apapun kata-kata yang keluar dari mulutnya itu seperti sinyal buat tubuhku untuk mentaati perintahnya. Selama 7 hari 24 jam tubuhku harus selalu siaga untuk menghadapi segala sikap, tindak tanduk, juga segala ancaman dari Mas Arman yang tidak pernah bisa aku prediksi.
Setelah siap, kami berangkat dengan terlebih dahulu menitipkan Aisyah di rumah Mama mertuaku.
Mas Arman memilih tempat ngobrol yang tidak terlalu jauh dari rumah Mama. Hanya sebuah kafe kecil yang terdiri dari beberapa meja dan kursi saja.
Setelah pesanan kami datang, Mas Arman mulai bersikap manis lagi padaku. Dia membelai dan mencium tanganku. Membuatku sedikit risih sebenarnya karena ukuran ruang kafe yang tidak terlalu besar.
"Rena, di antara banyak wanita yang aku kenal, cuma kamu yang aku pilih untuk jadi istriku, bukan perempuan itu." Kata Mas Arman memulai pembicaraannya.
Aku hanya diam mendengarkan. Hatiku masih sedikit sakit, dan itu membuat mataku mengembun bila mengingat perlakuannya padaku tadi pagi.
"Ayolah sayang, jangan seperti anak kecil begitu. Suami manapun juga nggak bakal senang liat istrinya muram dan cemberut begitu. Kamu harus tau ya, suami lain itu mungkin nggak akan jujur seperti aku kalau ada di posisiku. Kamu harusnya merasa beruntung dapet aku, sayang. Perempuan - perempuan itu gila-gilaan loh ngejar aku. Tapi aku tetap maunya sama kamu." Kata Mas Arman seolah mampu membuat otakku mengiyakan semua kata-katanya.
Aku hapus air mataku. Mas Arman benar, batinku. Lagipula, dia ini kan 'sakit', harusnya aku bisa memakluminya.
Dan setelah itu, hatiku seperti kembali normal. Tak ada sakit dan luka yang kurasakan seperti sebelumnya. Mas Arman masih bersikap manis selama kami berada di kafe, pun saat kami sudah sampai rumah kembali setelah mengambil Aisyah di rumah Mama. Aku bisa tidur dengan tenang malam ini, pikirku.