Setelah Mas Arman berjanji untuk tidak lagi berhubungan dengan perempuan lain, sikapnya mulai sedikit berubah padaku dan Aisyah. Tidak sering marah-marah dan memakiku dengan kata-kata kasar. Kupikir hal itu termasuk ke dalam proses penyembuhannya, jadi aku cukup bersyukur akan hal itu.
Suatu hari Mas Arman mengajakku dan Aisyah untuk pergi berbelanja. Meski saat itu kondisi tubuhku sedikit kurang fit, namun aku tetap memaksakan untuk ikut. Sebab jarang-jarang Mas Arman mengajak kami pergi keluar rumah. Selain itu aku juga tidak mau membuat moodnya hilang jika tiba-tiba aku menolak ajakannya.
Ketika kami sudah siap untuk pergi, tiba-tiba aku merasa tubuhku kaku semua. Lemas seperti tidak bertulang, nafasku sesak, dan aku menggigil hebat. Aku tidak bisa bicara sepatah katapun. Aku merasa ajalku mungkin sudah dekat.
Aku melihat Mas Arman dan berharap ia mau menolongku. Tapi tatapannya saat itu seperti kesal dan tidak suka melihat aku terbujur kaku di tempat tidur.
"Ayolah, Rena. Jangan main-main. Kita udah mau berangkat ini." Kata Mas Arman berucap dengan kesal. Mungkin dipikirnya aku mengada-ngada dengan kondisiku saat ini.
Setelah cukup lama ia melihatku yang tidak bisa apa-apa, ia langsung menghubungi Mamanya.
"Ma, cepat datang! Rena sakit!" Kata Mas Arman pada Mamanya di telepon.
Tak lama kemudian Mama mertuaku datang.
"Ya Allah, Rena. Kamu kenapa?" Tanya Mama mertua sangat panik saat ia melihat kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Aku hanya diam karena bibirku kelu tak bisa bicara. Ia lantas menyuruh Mas Arman untuk membawaku ke IGD.
Dokter yang memeriksa keadaanku mengatakan kalau kondisi kandunganku masih aman dan baik-baik saja. Ia kemudian meminta penjelasan terkait kronologi sebelum hal ini terjadi.
"Ini hanya serangan panik aja, Bu. Biasanya karena dipicu oleh stres dan terlalu banyak pikiran." Kata sang dokter berkata padaku setelah kondisiku perlahan membaik.
Setelah kejadian panic attack itu, Mama mertuaku menganjurkan aku dan Mas Arman untuk liburan sesaat agar kondisiku tidak stres. Ia kemudian memberi kami sejumlah uang dan meminjamkan mobil Papa sebagai alat transportasi kami.
"Biar Aisyah dititip ke Mama aja." Kata Mama mertua dengan sangat yakin.
Mas Arman setuju, dan aku pun tidak bisa menolaknya jika ia setuju. Semua keputusan ada di tangannya. Akhirnya dengan berat hati kutitip Aisyah di rumah Mama mertua dan kutinggalkan ia dengan hati sedih. Selama ini aku tidak pernah berpisah dengan putriku untuk waktu yang cukup lama. Mas Arman sengaja mengambil jatah cuti tahunannya supaya bisa pergi liburan agak lama denganku.