Aku panik karena pastinya Mas Arman tidak diperbolehkan masuk untuk menemaniku melahirkan anak kedua kami.
Nanti siapa yang ngomong ke bidan dan suster lainnya? Kan memang Mas Arman yang biasanya wara wiri mengurus administrasi dan lain-lain. Aku mulai ketakutan.
Tapi bismillaah, aku punya Allah. Dan Alhamdulillaah proses melahirkan anakku yang kedua terbilang cukup mudah, berbeda dengan putriku yang pertama, Aisyah.
Bayi kedua yang kuberi nama Maryam ini sangat bisa sekali diajak kerja sama. Hanya dua kali aku mengejan, alhamdulillaah dia sudah lahir.
Aku hanya ditemani oleh seorang bidan dengan pakaian APD lengkap, karena aku termasuk yang kontak erat dengan suamiku yang positif covid. Tapi aku tidak menyangka kalau aku bisa melakukan semuanya sendiri.
Pareniumku utuh tidak robek sedikitpun, dan ternyata aku merasa jauh lebih nyaman melahirkan tanpa Mas Arman di sampingku.
Setelah melahirkan, aku belum boleh pulang karena masih harus diisolasi selama sepekan di rumah sakit. Syukurnya selama aku diisolasi, aku bisa istirahat dengan tenang dan tidur pulas tanpa mendengar omelan dan ocehan dari suamiku.
Tapi itu tidak berlangsung lama karena Mas Arman selalu menghubungiku lewat video call.
"Aisyah rewel banget!" Teriaknya sambil memperlihatkan Aisyahku yang tantrum entah karena apa.
"Dia juga nggak mau makan!" Katanya di lain waktu saat aku tengah menyusui bayiku.
Dan aduan-aduan lainnya tentang Aisyah yang katanya nakal, tidak bisa diam, dan sebagainya. Pikiranku sudah kemana-mana membayangkan hukuman apa yang telah diterima Aisyah selama aku tidak ada di sampingnya.
"Nak, sabar ya. Sebentar lagi Mama pulang." Kataku membatin pada Aisyah. Semoga kontak batin ini bisa sampai ke dalam hatinya, harapku.
Keesokan malamnya Mas Arman kembali melakukan video jarak jauh denganku dan mengatakan kalau Aisyah tidak mau makan seharian.
"Nih, anakmu." Mas Arman mengarahkan kamera ponselnya pada Aisyah yang ternyata seharian itu tidak pakai baju, hanya pakaian dalam saja, karena kata Mas Arman ia selalu menumpahkan makanan dan minumannya, dan dia juga tidak mau dipakaikan baju.
Aku histeris!
"Dipaksa pakai baju, Mas. Kasihan, takut masuk angin." Kataku sambil menahan rasa rindu sekaligus tak tega melihat putri kecilku diperlakukan seenaknya oleh Papanya sendiri.