Aku sangat terkejut sekali saat kubuka kantong plastik putih yang datang itu hanyalah obat pereda nyeri semacam Paracetamol.
"Ya Allah, Mas Arman." Aku menangis sambil meremas obat yang dibelinya itu.
Aku akhirnya tetap meminum obat yang dibelinya dan mengirim pesan ke Mama mertuaku soal Mas Arman yang hanya memberiku obat pereda nyeri dan bukan obat dari resep yang kuberikan padanya.
"Anakmu keterlaluan, Ma. Dia bukannya membelikanku obat yang seharusnya, malah hanya memberiku obat pereda nyeri. Aku nggak sanggup seperti ini. Aku butuh bantuan, Ma. Kalau memang Mama dan Papa nggak bisa membantuku, aku akan pergi ke rumah temanku." Tulisku pada pesan yang kukirim ke Mama.
Aku mengancam akan pergi ke rumah temanku jika mereka masih terus seperti ini. Meski aku tidak tahu mau ke rumah teman yang mana yang akan kutuju.
Mama mertuaku jelas tidak langsung membaca pesanku karena ini sudah sangat larut. Aku berusaha untuk tidur meski rasa nyeri masih kurasakan hingga menjelang pagi.
Keesokannya Mas Arman ternyata sudah negatif covid dan ia pulang ke rumah. Untuk pertama kalinya ia melihat Maryam, bayi kami yang baru lahir, menggendongnya, meski itu hanya bertahan selama beberapa menit saja. Setelah itu ia letakkan lagi.
"Tadi pagi aku dengar Mama ngobrol sama tetangga sebelah rumah. Mama cerita kalau kamu nggak mau tinggal sama aku dan lebih memilih tinggal sama temenmu." Kata Mas Arman memberitahu. Seketika darahku mendidih dan segera kukirim sebuah pesan ke Mama mertua.
"Ma, kalau Mama nggak suka sama aku, tolong jangan adu domba aku sama Mas Arman!!" Ketikku dengan perasaan kesal dan marah. Bisa-bisanya Mama bilang seperti itu ke tetangganya dan itu didengar langsung oleh Mas Arman.
Aku tidak bermaksud untuk tidak ingin tinggal dengan anaknya. Aku hanya merasa kesakitan sementara dia seperti tidak peduli dengan keadaanku. Kalau begini terus, siapa yang tahan? Makanya aku mengatakan akan tinggal dengan temanku kalau ia masih bersikap menyebalkan seperti itu.
Tak lama kemudian ponsel Mas Arman berbunyi. Ia keluar dari kamar dan terdengar suara perdebatan. Jantungku mulai berdegup kencang. Ia menutup teleponnya dan segera berjalan cepat ke arah kamar kami. Dengan kasar ia membuka pintu dan tiba-tiba saja ia meninju pahaku yang sedang terlentang di atas tempat tidur.
"Kamu ngomong apa sama Mama, hah?!" Bentaknya dengan wajah yang merah padam.
Aku tak bisa berkata apapun setelah ia melakukan hal menyakitkan itu padaku. Ia segera keluar kamar dan meninggalkan aku yang meringis kesakitan. Mas Arman pasti paham betul bagaimana rasanya saat hemoroidku keluar sebesar kepalan tangan, paha tersentuh sedikitpun sakitnya minta ampun. Dan tadi ia malah meninjunya. Tak terbayangkan seperti apa sakitnya.
Aku hanya bisa menangis sambil memeluk kedua putriku.
"Ya Allah, kuatkan aku." Rintihku sambil terus berdoa mohon dikuatkan oleh Yang Maha Kuasa.